Jejak Sangut Delem Ngiring Rawana
Menuju Arena PKB
Oleh I Made Sudarma
Angin yang datang bersama dingin membawa
suara kulkul itu pada malam yang mulai tiba di sinar bulan. Aku mendengarnya
dari hentakan angin yang memantulkan dingin. Daun yang tak berklorofil hanya
menjadi cermin-cermin kecil untuk sinar bulan yang tak pernah sampai ke tanah. Kulkul dari bale banjarku itu memanggil semua sekaagong anak-anak di banjarku, untuk latihan malam ini. Mereka
adalah tunas-tunas seni yang dipersiapkan untuk ikut memeriahkan Pesta Kesenian
Bali (PKB) nanti, seperti belai daun plamboyan yang mengucup, yang selalu
menyiapkan malam untuk mimpi tanah basah. Sejak dini, dalam jiwa mereka telah
ditanamkan semangat untuk mempelajari budaya tanah bali ini, megambelan itu, karena air dan tanah
telah mencatat bahwa sembilu pada ujung tunas ilalang lebih runcing menyayat
malam hitam. Semoga rahim apresiasi budaya mereka tidak mengembang karena pemerkosaan
benang sari apresiasi budaya yang telah tua.
Pada suara kulkul itu, tiba-tiba dalam
ingatanku, sepotong kayu sakti, yang semula tumbuh di Pemerajan Puri Mengwi yang ingin membicarakan tentang Bali lewat
karya tumbuh di Pemerajan Puri Mengwi, yang ingin membicarakan tentang Bali
lewat karya seni, menyelinap balik kepingan malam yang tersayat oleh dingin.
Potongan kayu itu adalah sisa pembuatan kulkul
yang akan mengirim semangat relegius seni keseluruh tanah Bali, seperti kambium yang selalu mengirim kompos yang
menjadi air untuk tunas yang menjadi matahari tua.
Oleh Ida Pedanda Batan Cempaka di Puri
Abiansemal, setelah mendapat pawisik
dari pura Jati, setelah Beliau ngastawa, potongan
kayu sakti itu agar digunakan untuk membuat Barong Naga dan diikuti oleh Parwa.
Pada ujung daun yang melambai angin, pawisik
itu dilaksanakan oleh Ida Pedanda Batan Cempaka, potongan kayu sakti, sisa
pembuatan kulkul di Puri Mengwi itu,
di belah menjadi dua, satunya dipakai kepala Barong Naga dan satunya lagi dipakai
Tapel Sangut. Juga diambil sepotong
kayu yang bekas terbakar, yang juga dibelah dua. Satu bagian dibuat menjadi
Tapel Delem dan satu bagian lagi dibuat menjadi tapel Rawana. Malam yang
menelan nafas menjadi mimpi ini memberitahukan aku, bahwa inilah karya seni
yang lahir dari persetubuhan kreatifitas dengan relegius, seperti padi yang
menguning untuk sebuah kehidupan.
Pembuatan Tapel berakhir. Pementasan parwa dari tapel-tapelitu telah disiapkan. Namun, daun-daun yang mengembang,
yang menjaring matahari, tiba-tiba menguncup kembali, ketika awan hitam menjadi
airyang membasahi tanah. Tapel Bareng
Naga tiba-tiba hilang menjadi angin yang tak beralamat. Pementasan Parwa
tak pernah sampai kepanggung, Tapel Rawana,tapel Sangut, dan tapel delem, yang
masih tersisa, kini disemayamkan di
Pemerajan Puri Ida Pedanda Cempaka. Namun tidak lama kemudian, ketiga Tapel itu juga menghilang, tidak
diketahui sebab musababnya.
Seseorang bernama Kicen yang kemudian
disebut Pan Jempaluk dari Pulau Nusa Penida, kemudian menemukan tapel Rawana, tapel Sangut, dan tapel
Delem itu, di Pura Dalem Nusa (sebelum diubah namanya menjadi Pura Penataran
Ped). Seperti wangi bunga yang dikirim angin keujung hidung kumbang bernapas
wangi, berita tentang penemuan ketiga tapel
ini sampai kepada I Dewa Agung, di Puri Klungkung. Pada saat itu, wilayah subak
Sampalan sedang menderita penyakit tanaman , hama itu, dan musim pun tidak
berbuah biji-biji panen. Untuk itu, I Dewa Agung memerintahkan Klian Subak
sampalan memohon agar tanaman di Sampalan terhindar dari hama, kepada ketika
tapel itu di Pura dalem Nusa. Apabila tanaman di Subak Sampalan terhindar dari
hama, Klian Subak Sampalan masesangi
akan mengadakan upacara peed. Hama
tanaman tidak pernah datang lagi ketanaman subak Sampalan setelah sesangi itu diucapkan. Sejak saat itulah
I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa menjadi Pura Dalem Ped. Piodalan dan sesangi
mapeed telah disiapkan. Namun, sehari sebelum piodalan dan sesangi itu dilaksanakan tapel Sangut,
tapel Delem dan tapel Rawana itu, tiba-tiba hilang.
Tersebutlah sekarang di Subak Gelagah di
wilayah Marga, sedang kekurangan air. Tanah mongering pada pecahan-pecahan
sinar matahari yang mengirim panas. Buah tidak terkirim oleh tanah kepada
napas. Pada saat itu pula, seorang putra dari Puri Marga sedang sakit yang tak
kunjung sembuh. Namun pada malam hitam yang berselimut dingin, anggota subak
Gelagah melihat tiga buah tapel, tapel Delem, tapel Sangut, dan tapel
Rawana. Mendengar berita itu, Anake Agung dari Puri Marga memohon kepada ketiga
tapel itu agar Subak Gelagah terhindar dari kekurangan air dan putranya dapat
sembuh dari sakit. Permohonan Anake Agung terkabulkan. Subak Gelagah tidak lagi
kekurangan air dan putra mahkota sembuh dari penyakit yang dideritanya.
Setelah subak Gelagah tidak lagi
kekurangan air dan setelah Putra Mahkota sembuh dari penyakitnya, seseorang
dari desa Gelagah mendapat pawisik,
bahwa tapel-tapel itu ingin pindah
lagi ke Pura Ole. Masyarakat Gelagah menolak kehendak ketiga tapel itu. Karena
keinginan masyarakat Gelagah dipaksakan agar tapel-tapel itu tidak berpindah, maka wabah penyakit menyerang Desa
Gelagah, banyak masyarakat yang meninggal. I Penyariakan Gelagah yang masih
hidup kemudian mengungsi ke Desa Ole, dan menyuruh Penyariakn Desa Ole
menjemput ketiga tapel itu di Desa Gelagah untuk disemayamkan di Pura Puseh
Desa Ole.
Setelah lama di Pura Puseh Desa Ole, tapel Delem,tapel Sangut, dan tapel Rawana
itu, pindah lagi ke Pura Peseh Payangan. Masyarakat Ole tidak berani
menolaknya. Setelah di Pura Puseh Payangan, tapel-tapel itu pindah lagi ke Pura
Puseh Kembangan, dan terakhir di Pura Tuwa.
Dalam perjalanan tapel Delem, tapel
Sangut, dan tapel Rawana, dan cerita
lontar Pura Padang Dawa dari bumi Tabanan itu, aku mengerti bahwa karya seni
yang lahir dari pembuahan Rahim kreatifitas dengan semangat relegius akan
melahirkan tamba untuk tanah yang
terluka, seperti ketiga tap[el itu, yang lahir dari sepotong kayu sakti, dari
proses kreatifitas Ida Pedanda Batan Cempaka yang diawali dengan proses ngastawa. Karya seni yang diciptakan
hanya untuk ngayah bagi tanah Bali
ini. Inilah semangat berkesenian yang relegius dari seorang seniman Ida Pedanda
Batan Cempaka. Semoga cerita ini, cerita yang tiba-tiba menyelinap dalam suara kulkul banjarku itu, dapat menjadi
semangat seniman Bali dalam berkarya untuk Pesta Kesenian Bali (PKB) nanti.
Menjadikan PKB yang menebarkan aroma seni yang relegius, seni yang tidak
semata-mata mengejar sisi komersial, seperti angin yang menebarkan wangi bunga
pada kelopak. Semoga semoga berbagai macam penyakit yang melanda tanah Bali
ini, seperti penyakit terkikisnya nilai nilai budaya Bali, atau hilangnya
identitas budaya Bali, melaui perhelatan seni, PKB itu, semua penyakit itu
dapat disembuhkan, seperti ketga tapel karya I Pedanda Batan Cempaka yang dapat
menyembuhkan berbagai penyakit tanaman dan penyakit manusia.
I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Catatan:
Tulisan ini
sudah pernah dimuah oleh harian Bali Post Edisi Minggu Wage, 15 Juni 2008 pada
Rubrik Apresiasi
No comments:
Post a Comment