Ngelawang Semangat Relegius Seni Untuk Tanah Bali


https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1534782372881251339#editor/target=post;postID=8186419611034832534

Jejak Sangut Delem Ngiring Rawana Menuju Arena PKB
Oleh I Made Sudarma
Angin yang datang bersama dingin membawa suara kulkul itu pada malam yang mulai tiba di sinar bulan. Aku mendengarnya dari hentakan angin yang memantulkan dingin. Daun yang tak berklorofil hanya menjadi cermin-cermin kecil untuk sinar bulan yang tak pernah sampai ke tanah. Kulkul dari bale banjarku itu memanggil semua sekaagong anak-anak di banjarku, untuk latihan malam ini. Mereka adalah tunas-tunas seni yang dipersiapkan untuk ikut memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) nanti, seperti belai daun plamboyan yang mengucup, yang selalu menyiapkan malam untuk mimpi tanah basah. Sejak dini, dalam jiwa mereka telah ditanamkan semangat untuk mempelajari budaya tanah bali ini, megambelan itu, karena air dan tanah telah mencatat bahwa sembilu pada ujung tunas ilalang lebih runcing menyayat malam hitam. Semoga rahim apresiasi budaya mereka tidak mengembang karena pemerkosaan benang sari apresiasi budaya yang telah tua.
Pada suara kulkul itu, tiba-tiba dalam ingatanku, sepotong kayu sakti, yang semula tumbuh di Pemerajan Puri Mengwi yang ingin membicarakan tentang Bali lewat karya tumbuh di Pemerajan Puri Mengwi, yang ingin membicarakan tentang Bali lewat karya seni, menyelinap balik kepingan malam yang tersayat oleh dingin. Potongan kayu itu adalah sisa pembuatan kulkul yang akan mengirim semangat relegius seni keseluruh tanah Bali, seperti kambium yang selalu mengirim kompos yang menjadi air untuk tunas yang menjadi matahari tua.
Oleh Ida Pedanda Batan Cempaka di Puri Abiansemal, setelah mendapat pawisik dari pura Jati, setelah Beliau ngastawa, potongan kayu sakti itu agar digunakan untuk membuat Barong Naga dan diikuti oleh Parwa. Pada ujung daun yang melambai angin, pawisik itu dilaksanakan oleh Ida Pedanda Batan Cempaka, potongan kayu sakti, sisa pembuatan kulkul di Puri Mengwi itu, di belah menjadi dua, satunya dipakai kepala Barong Naga dan satunya lagi dipakai Tapel Sangut. Juga diambil sepotong kayu yang bekas terbakar, yang juga dibelah dua. Satu bagian dibuat menjadi Tapel Delem dan satu bagian lagi dibuat menjadi tapel Rawana. Malam yang menelan nafas menjadi mimpi ini memberitahukan aku, bahwa inilah karya seni yang lahir dari persetubuhan kreatifitas dengan relegius, seperti padi yang menguning untuk sebuah kehidupan.
Pembuatan Tapel berakhir. Pementasan parwa dari tapel-tapelitu telah disiapkan. Namun, daun-daun yang mengembang, yang menjaring matahari, tiba-tiba menguncup kembali, ketika awan hitam menjadi airyang membasahi tanah. Tapel Bareng Naga tiba-tiba hilang menjadi angin yang tak beralamat. Pementasan Parwa tak pernah sampai kepanggung, Tapel Rawana,tapel Sangut, dan tapel delem, yang masih tersisa, kini disemayamkan di Pemerajan Puri Ida Pedanda Cempaka. Namun tidak lama kemudian, ketiga Tapel itu juga menghilang, tidak diketahui sebab musababnya.
Seseorang bernama Kicen yang kemudian disebut Pan Jempaluk dari Pulau Nusa Penida, kemudian menemukan tapel Rawana, tapel Sangut, dan tapel Delem itu, di Pura Dalem Nusa (sebelum diubah namanya menjadi Pura Penataran Ped). Seperti wangi bunga yang dikirim angin keujung hidung kumbang bernapas wangi, berita tentang penemuan ketiga tapel ini sampai kepada I Dewa Agung, di Puri Klungkung. Pada saat itu, wilayah subak Sampalan sedang menderita penyakit tanaman , hama itu, dan musim pun tidak berbuah biji-biji panen. Untuk itu, I Dewa Agung memerintahkan Klian Subak sampalan memohon agar tanaman di Sampalan terhindar dari hama, kepada ketika tapel itu di Pura dalem Nusa. Apabila tanaman di Subak Sampalan terhindar dari hama, Klian Subak Sampalan masesangi akan mengadakan upacara peed. Hama tanaman tidak pernah datang lagi ketanaman subak Sampalan setelah sesangi itu diucapkan. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa  menjadi Pura Dalem Ped. Piodalan  dan sesangi mapeed telah disiapkan. Namun, sehari sebelum piodalan dan sesangi itu dilaksanakan tapel Sangut, tapel Delem dan tapel Rawana itu, tiba-tiba hilang.
Tersebutlah sekarang di Subak Gelagah di wilayah Marga, sedang kekurangan air. Tanah mongering pada pecahan-pecahan sinar matahari yang mengirim panas. Buah tidak terkirim oleh tanah kepada napas. Pada saat itu pula, seorang putra dari Puri Marga sedang sakit yang tak kunjung sembuh. Namun pada malam hitam yang berselimut dingin, anggota subak Gelagah melihat tiga buah tapel, tapel Delem, tapel Sangut, dan tapel Rawana. Mendengar berita itu, Anake Agung dari Puri Marga memohon kepada ketiga tapel itu agar Subak Gelagah terhindar dari kekurangan air dan putranya dapat sembuh dari sakit. Permohonan Anake Agung terkabulkan. Subak Gelagah tidak lagi kekurangan air dan putra mahkota sembuh dari penyakit yang dideritanya.
Setelah subak Gelagah tidak lagi kekurangan air dan setelah Putra Mahkota sembuh dari penyakitnya, seseorang dari desa Gelagah mendapat pawisik, bahwa tapel-tapel itu ingin pindah lagi ke Pura Ole. Masyarakat Gelagah menolak kehendak ketiga tapel itu. Karena keinginan masyarakat Gelagah dipaksakan agar tapel-tapel itu tidak berpindah, maka wabah penyakit menyerang Desa Gelagah, banyak masyarakat yang meninggal. I Penyariakan Gelagah yang masih hidup kemudian mengungsi ke Desa Ole, dan menyuruh Penyariakn Desa Ole menjemput ketiga tapel itu di Desa Gelagah untuk disemayamkan di Pura Puseh Desa Ole.
Setelah lama di Pura Puseh Desa Ole, tapel Delem,tapel Sangut, dan tapel Rawana itu, pindah lagi ke Pura Peseh Payangan. Masyarakat Ole tidak berani menolaknya. Setelah di Pura Puseh Payangan, tapel-tapel itu pindah lagi ke Pura Puseh Kembangan, dan terakhir di Pura Tuwa.
Dalam perjalanan tapel Delem, tapel Sangut, dan tapel Rawana, dan cerita lontar Pura Padang Dawa dari bumi Tabanan itu, aku mengerti bahwa karya seni yang lahir dari pembuahan Rahim kreatifitas dengan semangat relegius akan melahirkan tamba untuk tanah yang terluka, seperti ketiga tap[el itu, yang lahir dari sepotong kayu sakti, dari proses kreatifitas Ida Pedanda Batan Cempaka yang diawali dengan proses ngastawa. Karya seni yang diciptakan hanya untuk ngayah bagi tanah Bali ini. Inilah semangat berkesenian yang relegius dari seorang seniman Ida Pedanda Batan Cempaka. Semoga cerita ini, cerita yang tiba-tiba menyelinap dalam suara kulkul banjarku itu, dapat menjadi semangat seniman Bali dalam berkarya untuk Pesta Kesenian Bali (PKB) nanti. Menjadikan PKB yang menebarkan aroma seni yang relegius, seni yang tidak semata-mata mengejar sisi komersial, seperti angin yang menebarkan wangi bunga pada kelopak. Semoga semoga berbagai macam penyakit yang melanda tanah Bali ini, seperti penyakit terkikisnya nilai nilai budaya Bali, atau hilangnya identitas budaya Bali, melaui perhelatan seni, PKB itu, semua penyakit itu dapat disembuhkan, seperti ketga tapel karya I Pedanda Batan Cempaka yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit tanaman dan penyakit manusia.




I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Catatan:
Tulisan ini sudah pernah dimuah oleh harian Bali Post Edisi Minggu Wage, 15 Juni 2008 pada Rubrik Apresiasi
Share:

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

Pengunjung