Hutan Cemara Tenggelam ke Dasar Tanah Mengulum Air
Oleh I Made Sudarma
Di setiapperjalanan ini,
dalam perjalananku dari Nusa Penida menuju Singaraja, aku selalu melewati tempat
ini. Daun berkeringat dingin, batang dan ranting menjadi lumut, pada hutan cemara
yang tenggelam ke dasar tanah yang mengulum air, Kintamani ini. Di Penelokan ini,
aku selalu singgah untuk sekadar minum kopi dan membakar beberapa batang rokok
di belahan bibirku yang membeku dipeluk dingin. Dari jaket tebal dan topi yang
mencengkram kepala para penjual cendramata itu, aku merasakan bahwa di tempat ini
matahari telah remuk oleh air yang dikirim angin pada kabut yang merayap di
pucuk-pucuk cemara.
Di atas trotoar yang
sampai pada awan, mataku menyapa seorang laki-laki yang belum sampai pada rambut
yang menjadi putih. Jemari tangannya yang bercerita tentang kasih sayang yang
dikirim oleh air untuk akar, membelai sebuah patung garuda dari kayu tewe lpada sepotong kain kuning. Patung itu,
patung yang belum sampai kering, patung garuda yang berwarna kuning, patung
yang dibuat dari kayu tewel itu,
begitu mesra memeluk laki-laki yang menjadi perempuan pada rambutnya yang makin
menuju ke pantat. Aku pun makin mengerti pada tiap langkah kaki laki-laki itu
yang selalu menyapa rumput yang menjadi air, langkah itu hanya merindukan datangnya
tangan indah Dewi Sri, pembeli patung garuda kuning, garuda yang dibuat dari kayu
tewel itu. Dingin yang menjadi angin tiba-tiba
menutup perjumpaan mataku dengan laki-laki penjual patung itu, dari kabut yang
tiba-tiba dating bersama sehelai daun cemara yang meninggalkan rantingnya,
menuju janji untuk kompos tanah ini. Laki-laki itu bersama patung garuda kuningnya
hilang dari mataku ditelan kabut putih yang menebal. Aku tidak tahu entah kemana
laki-laki itu dan patung garudanya dibawa oleh kabut yang telah menjadi angin.
Ketika tunas dan cemara telah tumbuh dari ranting yang menjadi lumut,
menggantikan sehelai daun cemara yang di usir angin untuk menjadi kompos tanah ini,
mataku masih belum menemukan laki-laki itu bersama garuda kuningnya yang
ditelan kabut.
Tidak ada jejak yang
dapat aku temukan dari certa tentang hilangnya seorang laki-laki penjaga patung
bersama patung kuningnya itu. Dari cerita itu, aku hanya teringat pada seekor garuda
emas yang mampu menyatukan dan membangkitkan rasa nasionalisme tanah Bali ini,
yang semua remuk, menjadi tanah yang tiap memeluk penjaganya, panca datu itu, seperti musim yang
dengan siap melahirkan buah. Ketika daun-daun tanah Bali ini tidak lagi mengingat
batang rantingnya, maka seorang guru yang pernah dihina dan difitnah menjadi
air untuk bercerita tentang pentingnya daun-daun yang mengingat batang dan
ranting sebagai sebagai sebuah semeton. Ki
Balian Batur, seorang guru Aji Pengiwa,
dengan nyuti rupa menjadi seekor garuda
emas telah mengajarkanaku dan semua manusia Bali Tentang nikmatnya hidup dalam lingkaran
semeton untuk tanah bali ini.
Seorang laki-laki berbadan
pendek gemuk, kepala gundul, kumis tebal,dan berjenggot panjang, laki-laki dari
desa cau, terseret oleh kecewa karena rayuannya ditolak oleh Ni Luh Made Wali,
seorang penjual nasi yang berparas cantik, putrid dari Ki Balian Batur, seperti
seonggok kain usang yang diseret sungai dan sampai pada air yang menjadi tanah.
Ni Luh Made Wali dan keluarganya dihina dan difitnah oleh laki-laki gundu litu.
Si pendek gundu litu menyebut-nyebut orang tua dan keluarga Ni Luh Made Wali semuanya
bisa ngeleak. Lawar, jukutares, komoh,
brengkes dan sate, semuanya dibuat
dari daging manusia. Pelanggan Ni Luh Made Wali pergi, seperti batang tebu yang
telah menjadi ampas dan terusir dari ujung lidah. Ki Balian Batur dan keluarganya
telah dihina dan difitnah.
Grubug di Desa Cau.
Penghinaan dan fitnah telah berbuah, seperti gerimis yang melahirkan tanah menjadi
laut. Ki Balin Batur tersinggung dan marah. Desa Cau dihancurkan oleh leak aneka rupa, oleh murid-murid Ki
Balian Batur. Inilah sembilu yang
menjadi ujung lidah dan menyayat urat nadi bumi menjadi tanah yang
berkeping-keping. Mendengar beritaini Ida Cokorda Sakti Blambangan dari puri Kawyapura
Mengwi, murka dan tersulut amarahnya, karena Ki Balian Batur menghancurkan Desa
Cau dan jagad Mengwi. Bagai angin yang bergetar menjadi gemuruh pada tiap persetubuhan
pemanggul dan kulkul itu, amarah Cokorda Sakti Blambangan dan amarah Ki Balian Batur
beradu. Perang pun berkobar.
Dengan kesaktian nyuti rupa
menjadi seekor garuda besar, gagah perkasa, dan berbulu keemasan, Ki Balian Batur
tidak terkalahkan. Aji kreket, yang dimiliki oleh De Bendesa, pimpinan pasukan Mengwi
itu, tidak mampu menghentikan kesaktian Ki Balian Batur, seperti akar yang
tidak mampu menghentikan pelarian tanah mencari air. Namun, siang akan berakhir
pada langit yang menjadi tembaga, dan malam akan berakhir pada angin yang
menjadi kidung-kidung burung kecil maka kesaktian Ki Balian Batur pun akan berakhir
pada ujung senjata yang ada di Puri Semarapura, senjata Ki Narantaka Ki
Selisik.
Oleh Ide Cokorde Sakti Blambangan,
senjata Ki Narantaka Ki Selisik tetap
dipinjam dari Ida Dewa Agung Semarapura, dari puri Semarapura, walaupun kulit kayu
yang telah menjadi debu dan angin, telah mencatat bahwa leluhur Mengwi dan leluhur
Semarapura pernah bersengketa ketika masih di Gelgel, yang pada dasarnya mereka
adalah satu. Masalalu harus dihapus, karena taman hanya akan bercerita tentang keindahan
pada warna warni yang dikirim kelopak bunga wangi. Kesadaran butiran tanah menjadi
batu pada ujung ombak yang mengecap garam, menyadarkan Ida Cokorde Sakti Blambangan
dan Ida Dewa Agung Semarapura untuk bersatu kembali, untuk membebaskan tanah bali
ini dari ancaman sang Duratmaka, Ki
Balian Batur, karena daun-daun yang telah sampai ke tanah hanya akan mau diusir
oleh seribu ranting yang menjadi batang. Ki Balian Batur yang menghancurkan jagad
Mengwi akhirnya hancur oleh senjata Ki
Narantaka Ki Selisik dari jagad semarapura. Kesadaran untuk menjadi lidi yang diikat telah berbuah.
Dari cerita Ki Balian Batur
itu, cerita yang lahir kembali dari hilangnya laki-laki penjual patung bersama patung
garudanya dari mataku, karena ditelan kabut Penelokan ini, telah mengajarkanaku
dan semua manusia Bali tentang kekuatan sebuah persatuan dan kerjasama, pasukadukaan, untuk menjaga tanah Bali
ini. Ki Balian Batura dalah guru Aji Pengiwa
yang menjadi inspirasi untuk bersatunya kembali jagad Mengwi dan jagad Semarapura
yang semula bertikai. Inilah semangat nasionalisme dari tanah Bali yang lahir dari
seekor garuda emas, yang diajarkan kepadaku dan kepada semua manusia Bali
selalu menjaga pasemetonan dan selalu
mengingat kawitan untuk sebuah nasionalisme
tanah Bali, menjaga Bali agar tetap landuh,
seperti bersatunya kembali pasemetonan
Bali Barat dari Puri Mengwi dengan Bali Timur dari Puri Semarapura untuk membentuk
pasemetonan Bali yang kuat, tentang nasionalisme
dalam cerita Ki Balian Batur.
Catatan
Tulisan ini sudah dimuat di Bali Post Edisi Minggu Wage, 11 Mei 2008 pada rubrik Apresiasi
No comments:
Post a Comment