10 Sajak IGA. Suci Wirastuti

Kali ini, nyiur aksara menampilkan sepuluh puisi karya guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 6 Nusa Penida. Puisi-puisi ini merupakan puisi yang ditulis tahun 2004. Semua puisi ini merupakan tugas mata kuliah puisi II saat itu. Berikut adalah sepuluh puisi IGA. Suci Wirastuti.

TRAGTAG  BATU
Apa yang kau sembunyikan
di balik kilauan
perak kerucut cadasmu
hingga kau selalu ramah
            menyapa siang malam
            memanggil mesra namaku
Anugrah di balik bencanamu
                        Telah putihkan rongga tulangku
                        merahkan darahku      
walau tanpa kau sadari
            kerucutmu kikis iringi guliran usiaku
Purnama sahabatmu dan sahabatku
            bulan yang dulu putihkan
            daun salak dan runcingkan durinya
            tak bisa terangi tragtag batu
            yang kau susun meenjadi margaku
Tragtag batu itu
                        kini terkubur
                        kemanjaan nafas penghuninya


TENTANG  KEPERGIANKU 1
Dalam perjalananku
                        bumi yang kian senja
Masih berhargakah apa yang kumiliki
Secawan darah biru
            titipan leluhur kepadaku
Haruskah aku banggakan candi
                        yang telah lanjutkan nafasku
Walau candi itu
            teralikan jiwaku
demi keagungan dan kehormatan

Aku bertanya padamu
            karena kau sumber darah
                                                dan nafasku
Relakah kau lepas kepergianku
                        untuk turuni tangga candi
                        dan campurkan warna darah
                                    menjadi merah

TENTANG  KEPERGIANKU 2
Catatan tua di pustaka hatiku
hanya mencatat sebagain
                        dari kisah kita
Pustaka itu telah punah
            oleh tumphan-tumpahan cerita
            dari titik-titik perbedaan
            margaku dan margamu
            yang kita tulis
            dari hari-hari perjumpaan kita
Waktu telah temani perjalanku
kepada ranting-ranting kering
yang sebentar lagi terusir dari cabang
     karena tak sanggup member sari
            pada daunya

Memang kata mengalir
            di sepanjang sungai sarafku
            untuk berikan sambutan
            pada akhir perjumpaan
Tetapi kata itu tak pernah sampai
                        ke muara hatiku

4  JANUARI  2006
Sebelum kau tiba dengan senyummu
Aku telah duduk di samping bulan
        yang tenggelam dalam genangan
                         air mata langit
                             kiriman uap telaga
Semenit lalu
            aku telah kumpulkan suara malam
            kuciptakan orchestra
            kusenandungkan untukmu
sambil kita menemani malam
biar embun di ujung tulang daun itu
                        silaukan mata hati kita
kita tetap takjub
            pada tumpahan bait mantra
            suara suci hati pendeta

Sebentar lagi
                        kita akan sucikan raga
dengan air suci pemberian
                        pancuran telaga
                        dan kembali ucapkan mantra
                        dengan kesucian jiwa dan raga


LINGKARAN HARIKU
Jika kereta pagi tiba di stasiun rumahku
penghuni setiap peraduan akan riuh
mendandani diri
mencari jati diri

Ketika kereta siang dating dengan dentingan satu kali
akan kuketuk daun pintu
kuucapkan “selamat siang”

Dan,
kalau kereta malam berangkat
lampu menyala
manusia kaca akan riuh
   mengantarkan setiap penghuni kamar
            kembali menui bunga
            mimpi idah bersanding air mata

Maka,
esok kusambut kereta pagi 
dengan “selamat pagi”


RITUAL DARAH
Siapa yang akan mengantarkan
kepulan asap dupa dan seperangkat sesajen
                                    untuk sucikan darahmu
Terlanjur,
            darahmu bercampur racun dunia
            merubahnya menjadi hitam
Kini,
kini darah hitammu mengalir di sepanjang
                                         urat sarafku
            hingga aku tak bisa bedakan
                   hitam atau putih duniamu
Akankah,
            darah kita kembali merah
            oleh hitam mantra
                        dan percikan tirta
                        anugerah dewa



ZIARAH TANAH KELAHIRAN
Sudah dua tahun aku kembali
                        ke tanah kering
tempatmu dikubur dibekali selembar kasa
                        dan bait mantra

Dua puluh tahun
            kita berpisah
karena kita harus mengalah
                        pada kodrat

Tapi,
            sampai detik ini
                        tak pernah ku luangkan
      waktu menjamah nisan batu kuburmu

Mungkin kau telah dipangkuan ibu pertiwi
            dalam keabadian
aku tak pernah menghianatimu
aku tetap setia pada janji
                        demi napas titipanmu

Maafkan,
            kesombongan telah melilit jiwaku
            selimuti setiap desah rinduku
            aku tak bisa menolak
            karena tanahmu bukan tanahku


CEMBURU
Kuliah tak lagi enak bagiku
Sejak hati tak lagi utuh
            oleh pandangan nyinyir
                        cermin hitam matanya

Ingin kukoyak sahabat yang tak lagi setia
Karena tinta tak lagi sudi
meninggalkan noda pada putih kulitnya

Nada tumpahan tarian bibirnya
tidak lagi berarti dalam gendang telingaku
kurasa hanya sekelumit kidung kutu
                        dalam pergulatan akalku

Anganku tak lagi betah menanti
Hatiku selalu mengajaknya mengembara
            meninggalkan awal tujuan

Akal sehatku mencoba menahan rayuan itu
Karena aku setia
            pada perjalanan waktu
            menuju batas perpisahan


DONGENG MALAM

Entah,
            berapa ratus detik malam
            merangkak menjalar
            menyetubuhi bumi

Ini dongengku
                        pada kunang-kunang
                        mati lentera gelapkan penikmatanku

Kuraba lekuk indahmu bumi
Mengembara dalam dongengmu
Belum kutemukan
            puncak kenikmatan

Lelap merayap dalam gelap
Jiwa mendesah
            titipkan lelah
            dalam nafas waktu


KITA BRATAYUDHA

Luka membekas
Angin tersangkut tembok tua penantianku

Setua inikah
permainan waktu ?

Prajurit telah siap
dengan tameng
            pelindung tombak pencabut jiwa
mari kita ukir sejarah
                        (pekik jiwa tertadah)

Tanah berubah merah
Kuburan tak lagi tengadah
                                    lelah

Mari kita gali liang
            berlumuran tanah
dimana tak pernah ada
                        pertumpahan darah

Lihatlah !
Perang semakin berdarah





 IGA.Suci Wirastuti
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 6 Nusa Penida
Share:

2 comments:

  1. Wah keren. Alumni basindo bersastra

    ReplyDelete
  2. mantap. sangat mencairkan hati dan jiwa. ketika mata ini menyirami kata demi kata dan .......

    ReplyDelete

Popular Posts

Pengunjung