Cerpen Made Patih adalah cerpen yang ditulis pada tahun 2003 di Singaraja. Cerpen ini merupakan cerpen pemenang I sayembara penulisan cerpen remaja se-Bali NTT, NTB yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Denpasar. Cerpen ini juga menjadi pemenang IV tingkat nasional yang diselenggarakan oleh pusat bahasa nasional.
MADE PATIH
I Made Sudarma
Mungkin karena kegagalan cintanya, I
Gusti Made Suartika menggugat kembali namanya. Kata gusti di depan namanya adalah sebutan untuk golongan triwangsa, wangsa ksatria, bukan untuk
dirinya dari wangsa sudra, karena hal
itu yang telah merobek, mengoyak-oyak sulaman benang cinta yang dirajutnya
hamper dua tahun bersama gadis ksatria,
I Gusti Ayu Sukrawati, yang hanya meninggalkan kawah-kawah luka yang selalu
mendidih dan perih di dalam hatinya.
Begitu lebar dan dalam kawah-kawah luka
itu hingga merambat sampai organ-organ dan syaraf-syaraf hidupnya. Kawah-kawah
itu pula yang telah menenggelamkan daging dan lemak diseluruh tubuhnya dan
malah menonjolkan tulang-tulang yang membentuk tubuhnya hingga kulit hitamnya
bukan hitam, melainkan seperti kulit buah sawo itu, menjadi tidak rata.
Awalnya, dengan mengusung namagusti, cintanya pun mendapat restu dari
kedua orang tua I Gusti Ayu Sukrawati. Cinta sudah bicara, hasrat untuk saling
memiliki pun kian membsar, janji saling mau menerima kelebihan dan kekurangan
masing-masing telah terpatri pada hati mereka yang telah menyatu. Bibir cinta
pun tersenyum kian merona di dalam hati mereka. Perbedaan-perbedaan social di
antara mereka seakan telah menjadi pemanis bagi cinta mereka. Hal itulah yang
membuat I Gusti Ayu Sukrawati harus berterus terang mengatakan hal yang
sesungguhnya kepada orang tuanya, I Gusti Made Suatika adalah orang Sudra. Gusti hanya sebuah nama, bukan kasta.
Ternyata, keterusterangan itu telah
menjadi gulma-gulma bagi mekarnya bunga cinta mereka. Kedua orang tua I Gusti
Ayu Sukrawati mencabut kembali restunya bagi cinta mereka. I Gusti Made
Suartika dinilainya sebagai pemuda yang tidak pantas untuk anaknya. Mereka
menuduh I Gusti Made Suartika sengaja memakai nama gusti hanya untuk mendapat
restunya dan cinta anaknya. Maka, mulai saat itu, I Gusti Made Suartika harus
memutuskan benang-benang cinta dan menghapus lingkaran garis asmaranya dengan I
Gusti Ayu Sukrawati.
Semenjak saat itu, alam dirasakannya
tidak lagi menjadi kawan untuk diajak berkeluh kesah; menguraikan luka hati
yang membeku, membentuk luka hati yang perih. Pancaran sinar matahari pagi
tidak lagi dapat dirasakan sebagai pancaran sinar kesejukan, tetapi berubah
menjadi seribu jarum yang melesat, menerkam tubuhnya dan merasuk
sampai-ketulang belulangnya hingga dia terpelanting, terhempas, dan mengerang
kesakitan. Hembusan angin sore yang menggoyangkan pucuk-pucuk daun kelapa tidak
lagi dirasakan menjadi bisikan dan desahan alam yang mengagumkan, tetapi
menjadi sebuah bisikan dan desahan yang menyakitkan dan mematikan. Nyanyian
burung-burung kutilang ketika membangunkan pagi dan mengusap air mata malam
yang tersisa pada lembaran-lembaran daun-daun gamal tidak lagi dinikmati
sebagai rutinitas kedamaian dan keindahan, tetapi malah menjadi rutinitas
penganiayaan hatinyayang telah tercabik-cabik. Begitu hebat cinta telah
memangsanya.
Hancurnya hati berkeping-berkeping,
disayat oleh sembilu dari pecahan-pecahan tangkai bunga cinta yang patah,
bukanlah bencana satu-satunya yang pernah dialami karena kata depan namanya,
kata gusti itu.
Bukit Kelibun, bukit kecil dengan
lumpur-lumpur kering, di pesisir pantai Ped, Nusa Penida, sebuah pulau kecil
kalau dilihat pada lukisan bumi, peta,adalah “tahi”-nya Pulau Bali adalah
seekor manuk.
Di bukit itu, I Gusti Made Suartika
kecil adalah ejekan bagi teman bermainnya dan bagi orang-orang Kelibun. Ketika
itu, I Gusti Made Suartika kecil hanya harus menangis, menebus ejekan-ejekan
itu,kemudian mengadu kepada orang tuanya.
Teman-teman bermainnya dan orang-orang
Kelibun tidak pernah simpati terhadap terhadap perasaan I Gusti Made
Suartika kecil menerima ejekan-ejekan
mereka. Sakit meleleh, seperti batangan timah yang mencair diujung solder yang meledak-ledak oleh energi
yang luar biasa. Perasaan yang hancur lebur seperti daging alpukat yang dilindas
oleh roda-roda blender dan hanya
membuahkan sakit hati seperti Layon Sari
ketika ditinggalkan mati oleh Jaya Prana
dan harus menerima raja Kalianget,
atau seperti Kendedes saat disunting
oleh Tunggal Ametung, yang sakit hati
karena harus menerima atau menyandang sesuatu yang tidak diingini atau
dicintainya.
“Paman
Patih”,Patih Agung”,atau
“Gusti Patih” adalah ejekan-ejekan
orang-orang Kelibun untuk I Gusti Made Suartika kecil. Ketika itu, I Gusti Made
Suartika kecil hanya harus menangis kemudian mengancam orang-orang itu dengan
batu-batu kecil, batu dari bataran
tegalan bukit itu maka, orang-orang Kelibun berhenti mengejeknya. “Tidak,
tidak, saya Cuma bercanda”, kata orang-orang Kelibun kemudian, seperti mau
mencabut ejekan-ejekan mereka.
Ejekan-ejekan itu pula yang menyebabkan
I Gusti Made Suartika kecil kelak lebih dikenal dengan nama Made Patih. Nama
yang lahir dan tumbuh dari pelesetan kata gusti
oleh teman-teman bermainnya dan oleh orang-orang Kelibun. Kata gusti dalam nama itu selalu dihubungkan
dan disambungkan dengan kata patih,
nama tokoh dalam drama gong.
Di bukit itu, bukit Kelibun, dia tidak
istimewa, selain karena namanya yang dianggap tidak wajar oleh-oleh orang
Kelibun. Nama yang tidak sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah
membudaya pada diri orang-orang Kelibun. Nama adalah kasta, dan kasta adalah
kelompok manusia yang harus dihormati dan kelompok manusia yang harus
menghormati.
Suatu hari, I Gusti Made Suartika kecil
mencoba berontak terhadap ejekan-ejekan yang selalu menampar, bahkan menghantam
dinding hatinya. Ejekan-ejekan itu bahkan dirasakannya melebihi hukuman
picisan. Setiap orang yang lewat, selalu menyayat, membuat garis vertyikal
ataupun horizontal diatas daging tubuhnya dengan ujung-ujung pisau, kemudian
menaburkan air garam. Bayangkan betapa sakit dan perihnya!
“Mengapa kamu selalu mengejek namaku.
Apa namaku jelek atau telah mengganggumu?”. Namun, orang-orang Kelibun malah
semakin mengejek dan menertawakannya. Tangis dan sakit hati I Gusti Made
Suartika kecil adalah kepuasan orang-orang Kelibun. Mereka tertawa penuh
kemenagan, seperti tawa para sopir dan para kondektur di terminal ketika
mengejek sambil merayu wanita cantik penjual jamu gendong yang berlagak genit
itu, atau seperti tawa para prajurit yang sedang meneguk tuak dan ditemani oleh
para dayang yang cantik dan genit karena mereka baru saja berhasil membabat
habis musuh-musuhnya. Orang-orang Kelibun juga mengatakan aneh terhadap Made
Soma, orang tua I Gusti Made Suartika kecil, yang telah memberi namagusti pada anaknya.
“Namamu tidak jelek, tetapi kamu tidak
pantas dengan nama itu karena kamu tidak anak I Gusti Made Suartaya, dokter
yang menyukitmu, atau anak I Gusti
Ngurah Pradaya, polisi yang kau takuti itu. Akan tetapi , kamu anak Made Soma
dan Komang Rani, petani sudra dari
bukit Kelibun”. Begitulah orang-orang Kelibun membela diri dari pemberontakan
yang dilakukan oleh I Gusti Made Suartika kecil.
Kini, I Gusti Made Suartika menapaki
masa remaja bersama nama barunya. Made Patih. Orang-orang Kelibun dan
teman-teman bermainnya mulai melupakan I Gusti Made Suartika kecil, nama aneh,
nama yang sering mereka jadikan bahan ejekan. Sekarang mereka hanya mengenal
laki-laki remaja bukit Kelibun, Made Patih. Sementara itu I Gusti Made Suartika
semakin dimengertikan oleh pengertian-pengertian orang-orang Kelibun tentang
kata gusti itu sehingga dia malah
menjadi bingung dan tidak mengerti ketika kata itu ada padanya, pada nama orang
sudra.
Ketidakmengertian ternyata telah
melahirkan kebencian. Kebencian itu semakin dirasakan oleh I Gusti Made
Suartika ketika cinta yang dia bina bersama I Gusti Ayu Sukrawati harus kandas;
menyisakan luka yang begitu di hatinya karena kata gusti di depan namanya itu. Oleh karena itu,
penggugatan-penggugatan terhadap namanya ingin sekali dia lakukan, tetapi
keberanian untuk itu sepertinya tidak ada pada dirinya. Karena bagaimanapun,
dia menyadari bahwa nama adalah harapan. Disamping itu, nama yang diberikan kepada
dirinya telah melalui sebuah proses suci, telu
bulanan. Bersamaan itu pula, pemberian namanya adalah mendapat restu dan
saksi dari Tuhan, Dewa Saksi. Akan
tetapi, kali ini dia mencoba untuk berani dipaksa oleh rasa benci yang
meledak-ledak di hatinya.
“Pak, mengapa nama saya gusti, padahal kita dari kasta sudra?” Bapaknya hanya diam
menerima pertanyaan seperti itu.
“Saya malu memakai nama seperti itu,
Pak” lanjut I Gusti Made Suartika, memburu gelombang-gelombang diam yang telah
menghanyutkan bapaknya dalam kebisuan.
“Gusti! Kamu lihat kedua telapak tangan
ini!” tiba-tiba Made Soma menyodorkan kedua telapak tangannya ke wajah I Gusti
Made Suartika, tepat di depan hidung anaknya.
Telapak tangan itu begitu tua dan keras
hingga tampak seperti kulit buaya, bersisik, dan kasar. Pada telapak tangan itu
terlihat kulit yang menonjol dan mengeras pada setiap pangkal jemarinya
menyerupai kulit pada pantat kera.
“Kamu lihat telapak tangan ini begitu
kasar. Telapak tangan ini harus menjadi kasar karena setiap hari Bapak harus
memegang sabit, tahah, kikis, jungkrak,
atau tengalan, dan memegang tali-tali
sapi yang menghitam, kehilangan warna oleh lumpur-lumpur kering,tanah bukit
ini. Saya tidak ingin mewariskan semua itu kepadamu karena itu akan menyebabkan
tanganmu rusak, keras, dan kasar.
“Apa maksud Bapak dan apa hubungannya
semua itu dengan namaku?” I Gusti Made Suartika semakin tidak mengerti dengan
kata-kata bapaknya.
“Namamu adalah harapan dan cita-citaku.
Harapan untuk dapat mengubah wajah keluarga kita. Bapak ingin kamu seperti I
Gusti Ngurah Luhur, kepala sekolahmu, atau seperti I Gusti Ketut Pascita,
dokter yang telah berhasil menyembuhkan penyakit TBC ibumu. Bapak juga ingin
kamu seperti I Gusti Ngurah Rai, pahlawan bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa
dan raganya untuk tanah dewata, Pulau Bali ini, dari cengkraman penjajah.”
“Tapi kita dari kasta sudra, Pak?” I Gusti Made Suartika memotong kata-kata bapaknya.
“Namamu bukan kasta. Namamu adalah guna
dan karma yang Bapak harapkan dan Bapak cita-citakan. Nama adalah lebel, siapa
pun boleh memakainya. Kepala sekolah tidak hanya harus I Gusti Ngurah Luhur.
Menjadi dokter tidak hanya harus I Gusti Ketut Pascita dan menjadi seorang
pahlawan tidak hanya harus I Gusti
Ngurah Rai. Kamu pun berhak untuk itu dan nama yang bapak berikan kepadaku
adalah harapan agar kamu juga seperti mereka, menjadi mereka. Bapak ingin kamu
mampu menjaga ketentraman dunia untuk kepentingan masyarakat dan sama sekali
terlepas dari kepentingan pribadi. Bapak juga ingin kamu mempunyai kekuatan
yang utama, yaitu kekuatan rohani yang berupa kekuatan iman, kekuatan pikiran
dan semangat yang tinggi untuk menjadi mereka, menjadi pengabdi masyarakat.”
Bukit Kelibun masih beraroma panas
ketika Made Soma mengucapkan kata-kata itu. Perbukitan mundi, jauh di selatan
sana, hanya terlihat sebagai barisan bukit-bukit yang biru, pekat, seperti anak
ayam yang mengikuti induknya ketika melintas di atas bataran tegalan-tegalan bukit Kelibun. Sementara itu, Gunung Agung,
di Utara sana seperti tumpeng raksasa
yang membiru kehitam-hitaman menyembul dari dasar lautan lepas, selat Badung.
Tidak disadarinya, kata-kata itu pula
yang telah menyeret dirinya kepada hari-hari yang belum dilaluinya, hari-hari
keberhasilan anaknya. Ketika itu Galungan,
I Gusti Made Suartika pulang, datang dari Denpasar, membawa istri dan anak, menjenguk
dirinya yang sudah menjadi kakek dan merayakan Galungan bersama di bukit ini, bukit Kelibun. Ketika itu, dia
adalah orang tua yang berhasil membeli pendidikan untuk anaknya. Dia adalah
orang tua yang berhasil mencarikan gadis kota untuk anaknya. Dia adalah kakek
yang berhasil mempunyai cucu yang memanggil dirinya kakek, bukan I Kaki atau I Pekak. Maka, anak-anak Kelibun pun akan memperkenalkan mecingklak, slodor-slodoran, atau taban-tabanan, tanpa kata dan bahasa
kepada cucunya. Begitu juga, ibu-ibu Kelibun akan menyapa menantunya dengan
meniru logat Bali Daratan (Denpasar) dengan terpatah-patah. Itu adalah
kebanggaan dan keberhasilannya.
Oleh I Gusti Made Suartika,
khayalan-khayalan dalam teduh mata tua bapaknya, tidak disadarinya. Namun,
kata-kata bapaknya itu dapat ditangkapnya sebagai harapan dan cita-cita yang
dibebankan pada dirinya. Walaupun demikian, dirinya tidak yakin akan hal itu
karena di bukit Kelibun namanya adalah tetap nama dari golongan tri wangsa, wangsa ksatria. Mungkinkah
akan ada permakluman dan pengertian dari bukit Kelibun terhadap dirinya yang
memakai nama Gusti. Bahwa melalui
nama, orang tuanya telah membebankan harapan kepada dirinya untuk dapat
mangangkat dan mengubah wajah keluarganya. Mungkinkah?
Setelah penggugatan itu, tiga bulan
sudah, I Gusti Made Suartika mencoba untuk sombong dengan namanya itu. Dia
mencoba mendeskripsikan namanya kepada bukit Kelibun, sebuah deskripsi harapan
dan cita-cita yang dititipkan pada Rahim rumpun kata-kata namanya.
Siang akan terlahirkan. Matahari masih
belum perkasa oleh sengatan-sengatan panas sinarnya. Pagi itu, tiba-tiba motor
pos kecamatan tampak seperti tersengal-sengal melewati skeet-seket jalan raya
yang membelah, mendaki bukit Kelibun dan masuk ke halaman rumah I Gusti Made
Suartika. Pegawai pos, bapak yang berperawakan tinggi kurus dengan helm masih
di kepala, tampak menyerahkan surat kepada I Gusti Made Suartika.
“Dik! Ada surat!”
“Oya, terima kasih, Pak!” I Gusti Made
Suartika menerima sebuah surat beramplop putih. Perangko seharga Rp 1.000,00,
dua lembar tertempel di sudut kanan atas amplop itu. Tampak pula surat itu
tanpa alamat dan nama pengirim, hanya berisi nama penerima: “Kepada I Gusti
Made Suartika di bukit Kelibun, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung.
Akan tetapi, dari cap pos surat itu dapat diketahui bahwa surat itu berasal
dari sebuah kecamatan penghasil salak di Kabupaten Karangasem.
“De, semenjak kita harus putus oleh
keputusan ajiku, aku seperti tidak
sanggup melanjutkan hidup. Apalagi setelah itu, setelah kita selesai kuliah,
aku harus pulang ke karangasem dan kamu harus pulang ke Nusa, dan kita harus
berpisah. De, kalau kamu masih mencintaiku dan masih memegang janjimu dulu,
tolong tunggu aku di Pelabuhan Buyuk pada 3 Maret 2003 karena aku menyeberang
dari Pelabuhan Padang Bai, kita akan kawin! Mudah-mudahan kamu belum punya
penggantiku. Salam manis, Ayu.”
Setelah membaca surat itu, I Gusti Made
Suartika tiba-tiba merasakan luka di dalam hatinya hilang tanpa bekas. Rasa
bahagia kini meledak-ledak karena perasaan yang terbunuh
mati kini mendadak hidup kembali. Bagai emas permata yang lama hilang kini
sudah dapat ditemukan kembali. Begitulah yang dirasakan oleh I Gusti Made
Suartikakarena tiga hari lagi cintanya akan datang dan akan bersanding penuh
cinta dengan wanita yang benar-benar lahir dari hatinya.
I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Cerpen Made Patih ini tergabung dalam buku kumpulan cerpen Made Patih yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Denpasar.
Untuk melihat isi lengkap kumpulan cerpen ini, bisa diklik tombol di bawah!
No comments:
Post a Comment