Cerpe Jaba adalah cerpen yang ditulis pada tahun 2004. Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang tergabung dalam Buku kumpulan Cerpen Tower, yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Denpasar pada tahun 2004.
JABA
I Made
Sudarma
“Bapak sudah meminta Pak Kadek untuk mepelaku, “Wayan Rasta, laki-laki
setengah baya itu, setengah berbisik, memberitahukan anaknya, Made Artha.
Pak Kadek, laki-laki beranak satu,
bertubuh tambun, laki-laki dalam bisikan Wayan Rasta itu, bagi orang-orang
Kelibun adalah spesialis pelaku, seorang
maestro mumpuni. Bahkan, orang-orang Kelibun telah meyakini pada lidah Pak
Kadek, Dewa Bunyi, Dewa Suara, telah menorehkan rerajahannya, sehingga setiap bunyi, setiap kata, setiap kalimat
yang keluar dari bibirnya selalu mengandung taksu,
taksuyang membuat Pak Kadek menjadi Krisna, menjadi matahari dalam gelap,
meyakinkan Arjuna dalam keraguan untuk sebuah keputusan yang besar. Lidah Pak
Kadek adalah air yang akan memadamkan setiap jilatan lidah api yang membara,
membakar, kemudian menjadikan abu. Retorika-retorika, sor-singgih basa, pada ujung lidah Pak Kadek adalah
kepingan-kepingan es yang dicelubkan pada didihan minyak yang menghanguskan.
Pernah, ketika Pak Darmi menolak
perkawinan anaknya, Wayan Darmini, tidak mau menerima Ketut Suarta, pemuda
yatim tanpa bapak itu menjadi menantunya, akhirnya kawin lari pun dilakukan.
Ketika itu, taksupada lidah Pak Kadek
telah terbukti. Pak Darmi mau menerima perkawinan itu. Ketut Suarta diterima
sebagai menantunya. Pernah juga, ketika Nengah Parsa melarikan Tinah, gadis
dari agama lain, agama Islam dari kampong Toyepakeh itu, tidak mendapat restu
dari orang tua Tinah, Haji Yusuf, karena perbedaan agama. Akhirnya, Pak Kadek
yang pelaku. Sekali ini taksupada lidah Pak Kadek pun sangat
mujarab dan Nengah Parsa diterima sebagai menantu oleh Haji Yusuf. Dan
sekarang, ketika satu lagi laki-laki, pemuda Kelibun, Made Artha, telah
disiapkan seorang gadis Ksatria, I Gusti Ayu Sukerti, oleh
sebuah jero, pada sebuah desa
penghasil salak, di Tanah Aron itu, Karangasem, maka taksupada lidah Pak Kadek akan diuji. Pak Kadek akanmeplakuuntuk kawin lari yang akan
dilaksanakan itu.
Pagi itu, bukit Kelibun, bukit kecil di
pinggiran areal Pura Dalem Ped, sebuah Pura oleh Claire Holt dinilainya sebagai
Pura dengan lay outyang menarik, di
pulau kecil, Nusa Penida, yang oleh pelaut-pelaut Inggris menyebutnya sebagai Bandit Island, seperti baru dilahirkan.
Matahari bersinar begitu lembut dengan beriak-beriak dingin,
gelombang-gelombang kecil hembusan angin pagi oleh tarian-tarian daun-daun bunut, daun-daun gamal, dan pucuk-pucuk kelapa. Butiran-butiran tanah kering dari
lahan yang berundag-undag dan berbatu, debu, bukit kecil itu, berterbangan
mengejar laju hembusan angin pagi, yang kemudain lenyap pada ranting-ranting
patah, pada daun-daun yang berguguran. Burung-burung kutilang menjaring pagi
oleh kibasan-kibasan sayapnya, kemudian mendewasakan matahari dengan
nyanyian-nyanyiannya. Matahari pagi itu membawa aroma baru untuk bukit Kelibun.
Hari baru akandimulai dan orang-orang Kelibun memusatkannya di sebuah rumah
kecil di pinggir selatan bukit itu, rumah Made Artha. Orang-orang Kelibun kesaratdi rumah itu, menyiapkan
kedatangan hari perkawinan itu.
Kali ini, pekerjaan CucuWayan dan wanita-wanita Kelibun akan bertambah sulit. CucuWayan, wanita tua yang lebih memilih
kehadiran dunia banten dalam hidupnya
ketimbang kehadiran aroma keringat dan kehadiran otot kekar laki-laki dalam
hidupnya itu, oleh orang-orang Kelibun dipahami sebagai tukang banten yang serba bisa. Semua ukuran bantendia pahami, dari banten telubulanan, metatah, pawiwahan, sampai banten pengabenan. Dan itu dia kerjakan
tanpa meminta imbalan, kecuali peparan,
yang harus diantarkan ke rumahnya dengan diam-diam, tanpa sepengetahuannya. CucuWayan juga dikenal sebagai tukang banten dengan tutur bahasa yang lembut,
dengan senang hati dia membimbing wanita-wanita Kelibun yang telah melupakan
dunia banten, dunia oleh
wanita-wanita Kelibun hanya milik CucuWayan,
dan CucuWayan harus selalu menjadi
pemimpin pembuat banten bagi
wanita-wanita Kelibun untuk setiap upacara agama di bukit itu.
Sekarang ketika CucuWayan harus menyiapkan bantenpawiwahanbersama
wanita-wanita Kelibun untuk Made Artha, maka pekerjaannya harus bertambah pula.
Perkawinan ini bukan perkawinan biasa, bukan perkawinan Ketut Suarta dengan
Wayan Darmini. Akan tetapi, oleh orang-orang Kelibun, perkawinan Made Artha
dengan I Gusti Ayu Sukerti adalah perkawinan hitam-putih, perkawinan
atas-bawah, perkawinan Sudra-Kesatria,
perkawinan alangkahi karang hulu. Untuk
itu, CucuWayan tidak hanya akan
membuat bantenpawiwahan, tetapi juga
akan membuat banten selem-putih, banten
pematuh, karena Made Artha dan I Gusti Ayu Sukerti diyakini mempunyai warna
darah yang berbeda, lahir dari kelompok yang berbeda, kelompok yang harus
dihormati dan kelompok yang harus menghormati. Maka, banten pematuh itu harus disiapkan untuk menyamakan warna darah
mereka, karena rasa dan cinta dianggap tidak cukup untuk menyamakan dan
menyatukan mereka.
Secara kultur, oleh orang-orang Kelibun,
perkawinan ini juga akan melahirkan I Gusti Ayu Sukerti baru. Bukan karena
didalam rahimnya akan mengalir nafas baru, benih yang ditanam oleh Made Artha,
kemudian bentuk tubuhnya akan berubah, karena selama Sembilan bulan, darahnya,
nafasnya, dagingnya, akan terbagi untuk benih itu, dan setelah itu, setelah dia
harus melahirkan benih itu, tubuhnya akan rusak, vaginanya akan hancur tersayat
rambut-rambut kecil, rambut-rambut bayi, benih Made Artha yang dilahirkannya.
Bukan. Akan tetapi, oleh perkawinan ini, kata Gusti Ayu di depan namanya akan dihapuskan. Sukerti tidak lagi
menjadi seorang Gusti Ayu, dia telah nyerod. Sukerti baru akan dilahirkan,
seorang sukerti jaba. Bersama itu
pula, I Gusti Ayu Sukerti hanyalah akan menjadi bekas anak, seorang anak yang
harus memanggil Gusti Aji bukan lagi Aji kepada bapaknya, laki-laki yang
harus tampil sempurna, tampil lengkap ketika harus menanam ari-arinya,
laki-laki yang selalu menungguinya dengan sabar ketika panas badannya tinggi,
pada beberapa malam, ketika dia bayi. Dan harus memanggil Gusti Biyang bukan lagi Biyanguntuk
ibunya, wanita yang harus dengan rela membagi cairan tubuhnya untuk memompa
tubuh kecil, Gusti Ayu Sukerti bayi. Ini lebih menyakitkan dari sepotong
pembalut wanita yang telah tergores noda darah merah bata, darah menstruasi,
yang dibuang pada selokan –selokan air yang berbau busuk atau lebih menyakitkan
lagi dari seonggok daging, orok itu, yang dibuang pada aliran sungai yang tak
beralamat. Ini sungguh menyakitkan.
Juga oleh perkawinan ini, laki-laki
Kelibun akan semakin sibuk. Mereka tidak hanya harus membuat kelabang, klangsah, tali tutus, kemudian
mendirikan taring, membuat sanggah cerukcuk, sanggah pupuh, dan penjor, atau mencari janur kelapa,
memetik buah kelapa, menebang pohon bunut,
pohon mangga untuk kayu bakar, untuk persiapan hari itu, hari perkawinan Made
Artha dengan Gusti Ayu Sukerti. Akan tetapi, oleh perkawinan ini, mereka juga
harus membuat sesuatu yang baru, sesuatu yang belum menjadi kebutuhan bukit
Kelibun. Perkawinan ini adalah perkawinan kelas, perkawinan orang
berpendidikan, Made Artha dan I Gusti Ayu Sukerti. Tamu yang datang, undangan
itu, undangan yang diundang dengan kata-kata kekeluargaan sentetis, kartu
undangan, bukan dengan secarik tembakau yang dibungkus dengan gilingan daun
sirih, kemudian dikat dengan seuntai benang yang diikatkan pada uang kepeng, lekesan itu, tidak hanya akan datang
dari bukit Kelibun, tetapi akan datang juga dari kota, teman-teman kuliah dan
dosen-dosen Made Artha dan I Gusti Ayu Sukerti dulu. Untuk itu, sesuatu yang
baru, WC itu, harus disiapkan, karena WC hanya dibutuhkan oleh orang-orang kota
bukan oleh bukit Kelibun. WC bagi bukit Kelibun hanya untuk perkawinan ini
bukan karena kematian Ketut Sekar, ibu Made Artha, karena mutaberyang menyerangnya. Bukan.
“Maafkan aku ibu! Aku telah melupakan
kata-katamu, pesanmu. Tapi, izinkan aku untuk menjadi Leander, karena dia
adalah wanita itu, imam wanita di Kuil
Cinta itu. Dia adalah ibu”, tiba-tiba Made Artha berteriak dalam hatinya
dan ingin bersujud di kaki ibunya, mengatakan bahwa ia telah menemukan wanita
seperti ibunya, wanita yang selalu menjaga kesucian cinta.
Kesibukan Made Artha dengan orang-orang
Kelibun menyiapkan kedatangan hari perkawinannya telah mengingatkan kembali
kepada mendiang ibunya, Ketut Sekar, pada 11 tahun yang lalu, ketika harus mengalah
pada maut, pada kematian. Ketika itu, kematian Ketut Sekar menurut diagnosa dokter karena kehabisan air
dalam tubuhnya, mutaber yang menyerangnya. Akan tetapi, karena
kata-kata itu, kata-kata terakhir yang diucapkan kepada Made Artha, “Tapi …anakku yang malang, janganlah kau
mencoba mengenal cinta. Karena sesungguhnya tidak ada cinta dalam hidup ini,
yang ada hanyalah nafsu, kebohongan, fitnah dan hutang….! Juga gengsi yang
harus kita jaga dan kita agungkan. Cinta benar-benar sudah hilang dalam hidup
ini, cinta telah lama mati…,bukan hanya karena mutaber itu, Ketut Sekar, wanita yang selalu tegar, kekar
menjunjung kebesaran, kesucian cinta itu, harus mengalah pada kematian.
Diagnose dokter tidak mampu untuk mendeteks itu, penghianatan cinta oleh Wayan
Rasta, suaminya. Ketika itu, wanita lain, Luh Murni, harus hadir
ditengah-tengah kehidupan mereka, harus hadir untuk membagi perhatian, kasih
sayang, cinta Wayan Rasta. Penghianatan itu telah meracuni,menggerogoti,
meremukkan lengan-lengannya yang selalu kekar menjungjung kebersamaan, kesucian
cinta, seperti rayap-rayap kecil yang meremukkan seonggok batang pohon kelapa
menjadi bubur-bubur kayu yang hanya akan diterbangkan angina entah kemana.
Oleh Made Artha, sejarah-sejarah itu,
sejarah-sejarah cinta yang dibangunnya bersama I Gusti Ayu Sukerti, ketika
mereka masih kuliah, ketika I Gusti Ayu Sukerti mau menerima semua
kekurangannya yang menyebabkan mereka harus berbeda itu, tetapi cinta telah
mendifinisikan mereka menjadi sama adalah obat sakit hati ibunya, obat bagi
luka yang merenggut nyawa Ketut Sekar,
karena I Gusti Ayu Sukerti adalah ibunya, bukan bapaknya, Wayan Rasta. Made
Artha adalah rumput-rumput jepang yang tumbuh di halaman rumahnya, di bukit
kecil itu, bukit Kelibun, yang hanya akan tampak hijau ketika kapat, musim hujan datang, dan dan akan
menjadi kuning, kering, terbakar, ketika katiga,
musim panas membakar bukit itu. Akan tetapi I Gusti Ayu Sukerti adalah
rumput-rumput jepang yang tumbuh di halaman kampusnya dulu, yang selalu tampak
hijau disepanjang musim karena selalu disiram oleh Cleaning Service kampus setiap hari. Cinta itu putih, suci, bahkan
bening. Karena itulah, I Gusti Ayu Sukerti menjadi Chairil Anwar, menjadi
seorang pendobrak, seorang penganut licentia
poetica, I Gusti Ayu Sukerti adalah pembuat sejarah, melawan sejarah.
Karena cinta, I Gusti Ayu Sukerti harus melompat, meninggalkan sekat-sekat
tipis kelompokny, kasta itu.
Lembaran-lembaran sejarah cinta itu,
oleh kenang-kenangan Made Artha, dibuka kembali dalam pikirannya. Kini Made
Artha benar-benar ingin menjadi Leander, tokoh dalam legenda Yunani kuno,
seorang tokoh dalam mythology menjadi perenang jarak jauh yang pertama, seorang
pemuda yang jatuh cinta pada seorang imam wanita di Kuil Cina, di Asia Minor,
Turki. I Gusti Ayu Sukerti bagi Made Artha adalah imam wanita itu. Dan ketika
Leander harus berenang, menyebrangi, menundukkan sungai yang lebar, sungai
Hellespont, sungai yang lebih dikenal dengan nama Dardenelles, untuk menemui
pahlawan hatinya, imam wanita di Kuil Cina itu, maka bagi Made Artha akan
menundukkan lautan yang luas, lautan yang memisahkan pulau kecil, Nusa Penida
itu, dengan Pulau Bali, Selat Badung, dengan cinta, untuk selalu menyatu dengan
wanita berhati putih, I Gusti Ayu Sukerti, di sebuah desa penghasil salak, di
Tanah Aron, Karangasem.
Hari ini semua persiapan untuk
perkawinan itu sudah hamper selesai karena besok Made Artha dan I Gusti Ayu
Sukerti harus natab, melangsungkan
perkawinan itu. Banten pewiwahan dan banten pematuh telah selesai disiapkan
oleh Cucu Wayan bersama wanita-wanita
Kelibun. Taring telah dibangun
menutupi halaman berdebu, halaman rumah Made Artha, juga penjor telah berdiri di pintu masuk, di samping
asagan, pekarangan rumah itu. Besok,
Pak Kadek akan berangkat untuk meplaku
ke rumah, jero, I Gusti Ayu Sukerti
bersama beberapa laki-laki Kelibun yang akan melarikan I Gusti Ayu Sukerti.
Bukit Kelibun telah dihibur oleh lantunan lagu-lagu Pop Bali dari sebuah Laud speaker yang sengaja dipasang di
atas pohon manga manalagi, di samping rumah itu, rumah Made Artha, pengeras
suara milik Pak Mrita yang biasa disewa oleh bukit Kelibun sebagai tanda
upacara agama dilangsungkan, pengeras suara yang dibelinya ketika zaman SDSB,
ketika Pak Mrita nimbus dengan 4 angka.
Hari ini, kesejukan telah menjamah hati
Made Artha, seperti sejuknya suasana pagi, ketika liur-liur malam hanya tersisa
di ujung runcingnyadaun-daun padi yang menghijau menjadi titik-titik air,
kemudian menjadi permata ketika sinar merah tembaga, sinar ,matahari pagi
menyentuh titik-titik air itu. Inilah adalah kebahagiaan bagi Made Artha,
seperti Tuhan benar-benar lahir, hadir didepannya, kemudian memberikan segala
permohonannya. Di tengah-tengah tenggelamnya Made Artha di lautan madu,
kebahagian itu, nada mebunga-bunga,
nada lagu Pop Bali, lagu dari seorang penyanyi bumi serombotan, Klungkung, Eka
Jaya, nada panggilan dari kotak kecil, kotak teknologi, kotak komunikasi, HP,
yang tersimpan di saku baju Made Artha itu bordering. Made Artha kemudian
mengambil kotak kecil itu, layar yang memancarkan sinar langit, muncul kalimat
“panggilan”, nama seseorang, Sukerti,
dan sederetan angka-angka, nomor HP, yang bergerak-gerak seirama dengan
getaran-getaran kotak kecil, HP itu.
“Halo…!”, Made Artha mengucapkan kata
itu setelah menekan tombol yang menggambarkan gagangtelpon, tombol OK itu.
“Ini Made, ya?”,Suara itu, suara seorang
keluar dari dalam kotak kecil itu.
“Aku yakin, ketika ajiku mengetahui perkawinan ini, dia pasti akan terpukul dan
tersinggung oleh keputusan ini, menurut ajiku,
aku hanya boleh kawin ketika laki-laki yang meminangku adalah laki-laki
sedarah, satu kasta, kasta Kesatria.
Hanya dengan itu aji tidak akan malu
di depan keluarga besarku dan aji
yakin dengan itu aku pasti akan bahagia. Untuk itu, aku pilih perkawinan hari
ini, perkawinan dengan laki-laki sudra,
untuk menunjukkan pada ajibahwa
pilihanku tidak salah karena aku pasti bahagia. Maafkan aku! Aku harus pilih
Made Pradika, teman kuliah kita dulu, teman kuliah yang sering kau panggil Made
Sampleg itu, laki-laki yang kini meneruskan usaha bapaknya, meneruskan daeler
sepeda motor itu. Sekali lagi, maafkan aku. Ini aku lakukan untuk mengurangi
rasa malu ajidi depan keluarga
besarku, karena yang aku pilih adalah laki-laki sudra yang bisamembahagiakan aku, laki-laki yang mempunyai daeler.
Dan semua cerita kita selama 4 tahun, kita anggap sebagai sebuah mimpi indah
dan kini kita telah terjaga dari mimpi indah itu. Maafkan aku!”, kata-kata itu
kemudian lenyap, hilang dalam kotak suara, HP itu. Setelah itu, tubuh Made
Artha menjadi lemas, tulang-tulangnya sepert rapuh digerogoti oleh kata-kata
itu, seperti sebuah lilin yang meleleh oleh jilatan-jilatan mata api. Kata-kata
itu telah membunuhnya dalam hidup, telah menghancurkannya, menenggelamkannya
pada lautan seribu jarum yang memanggang dagingnya hingga dia terpelanting,
terhempas, dan megerang kesakitan. Made Artha benar-benar menjadi Leander,
ketika sungai Hellespont akhirnya menenggelamkan Leander ketika kehilangan
petunjuk jalan, kehilangan arah, karena obor yang ditempatkan di atas menara
oleh sang hero, imam wanita itu, untuk memberi petunjuk di kegelepan malam,
ditiup badai.
Singaraja, Juli 2004
I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
No comments:
Post a Comment