Aku akan selalu merawat
sekuntum bunga cangnging yang
menyimpan jejak empat kaki kupu-kupu tentang taksu dan tengetnya tanah
Nusa Penida ini. Bungan cangnging ini
adalah air bening yang membagi wajahku untuk menjaga tanah ini. Jejak kaki
kupu-kupu itu adalah dingin dan panas tanah ini. Akan aku bentangkan jejak kupu-kupu
ini pada tiap jejak kakiku untuk tanah Nusa Penida, karena anak keledai pun
bersumpah untuk tidak tenggelam pada kali kedua, pada tanah yang menjadi kubur
yang sama. Semoga empat jejak kaki kupu-kupu itu menjadi sinar bulan untuk bayanganku
pada malam, ketika aku akan menjaga taksu,
identitas pura yang dibangun di tanah ini, tanah Nusa Penida
Sekuntum
Bunga Tunjung Yang Tak Pernah Sampai Pada Akar Air
Oleh I Made Sudarma
Ketika matahari bercerita
sore pada langit yang menjadi tembaga, sekuntum Bungan cangnging tergelincir dari cabangnya, di kilir angin yang
kehilangan panas. Aku duduk di celabah
cubing ini menunggu malam yang buram tak berpenghuni. Sekuntum Bungan cangnging ini jatuh di pabinanku bersama wangi yang dikirim oleh
angin. Aku tahu, Bungan cangnging adalah
bunga yang terusir dari pohon cangnging tua
yang tumbuh di bibir bataran tegalan,
tanah berbatu dan berundag-undag, tanah Nusa Penida, di samping cubing ini.
Dari kelopak Bungan cangnging ini, aku menemukan empat
jejak kaki kupu-kupu yang pernah hinggap pada bunga ini. Kupu-kupu itu datang seperti
angin melintasi samudra, mendaki gunung, hanya untuk hinggap, bukan untuk menghisap
madunya tetapi hanya sekadar singgah untuk menikmati dan mengagumi warna-warna kelopaknya
pada fotosentesis bakti untuk sinar suci,
sinar Tuhan. Bungan cangnging ini adalah
tanah Nusa Penida yang tumbuh menjadi bunga, dan menebarkan aroma harum kesetiap
angin yang dihirup menjadi nafas, seperti sayap kunang-kunang yang menjadi gemerlip
bintang pada sinar bulan yang belum sampai ke tanah. Aku akan merawat Bungan cangnging ini untuk sebuah cermin
yang menyisir rambutku setelah malam. Di kelopak Bungan cangnging ini, aku dapatkan pipil tentang tanah yang menjadi bunga. Akupun tahu tentang taksu dan tengetnya tanah Nusa Penida ini pada pura yang dibangun dengan identitas
bakti leluhurku, leluhur tanah ini,
kepada rahim suci bening yang melahirkanaku dan tanah ini, bakti untuk Tuhan.
Kupu-kupu pertama hinggap
pada kelopak Bungan cangnging ini,
kemudian terbang bersama angin yang dihembuskan oleh daun-daun menuju Pura Meranting
di Batukandik, dan hinggap pada pyramid emas yang dirangkai oleh aroma bunga dan
kemenyan. Kupu-kupu ini bernama Covarubias yang mencatat kekagumannya terhadap Pura
Meranting pada kelopak cangnging ini,
menjadi catatan Island Of Bali. Dalam
kekagumannya itu, Covarubias menggoreskan kalimat“The Magnificet stone altar, a Piramidtwelye feet hight surrounded by
the torso of women with large breasts supporting on her head a stone throne”untuk
Pura Meranting ini. Dari catatan yang digoreskan di kelopak Bungan cangnging ini, aku tahu bahwa Covarubias
mengagumi cita rasa seni pada peradaban leluhur Nusa Penida yang mengepul ke langit
dari Pura Meranting yang dibangun, sebagai tempat pemujaan dari batu yang
sangat bagus berbentuk pyramid dengan ketinggian dua belas kaki, dan sebuah singgasana
batu dijunjung oleh seorang wanita cantik yang susunya besar. Inilah persembahan
kuwangen dengan kidung-kidung keindahan
oleh leluhur Nusa Penida untuk kekuatan yang telah melahirkannya dari Rahim
api, air, dan tanah, Tuhan, yang diparafrasekan dengan tempat memuja sinarNya,
Pura Meranting itu, yang dibangun dari manah
sewangi bunga dan sejernih hujan pada pelangi. Inilah persembahan seni yang
tertinggi yang dimiliki oleh leluhur Nusa Penida, yang diajarkan kepadaku.
Kekaguman serupa juga aku temukan pada jejak kaki kupu-kupu Stuterhein yang
digoreskan pada kelopak Bungan cangnging ini,
tentang pura meranting. Pada jejak kaki kupu-kupu itu, aku membacanya bahwa Sanggran pura meranting itu sebagai meghalitica (batubesar) yang disebut sebagai
Een Interessante Surya Zetel. Kelopak
Bungan cangngingini pun
memberitahukan aku tentang kekaguman kupu-kupu Stuterhein akan Pura Meranting sebagai sebuah singgasana Bhatara Surya
yang sangat menarik.
Kupu-kupu yang bernama CJ.Grader
juga pernah hinggap dan mennggalkan jejak pada kelopak cangnging ini, lalu terbang menyibak awan yang bertengger di atas langit
tanah ini, menuju puncak Nusa Penida, puncak yang sampai pada angin dingin,
Pura Puncak Mundi, kemudian hinggap pada batu yang menjadi lumut. Kupu-kupu CJ.Grader
mengagumi hal yang paling indah tentang penghormatan terhadap daun-daun kering
yang menjadi humus dari pura ini, adalah cara sebagian orang-orang Nusa Penida apabila
memugar pura, bangunan lama yang dianggaps angat keramat tidak tersentuh.
Apabila mereka ingin bangunan baru, mereka akan mendirikan di samping bangunan
lama (peninggalan) yang ada dibuat dengan keadaan dan selera masa kini. Jejak
kaki kupu-kupu CJ.Grader yang tertinggal pada kelopak cangging ini mengajari aku tentang cara menghormati bakti leluhur dari peradaban yang
dibangun di tanah ini. Malam berganti siang, tetapi peradaban harus tetap dijaga
dari sinar kunang-kunang dan nyanyian burung-burung
kecil. Air hujan yang selalu mencari rahim untuk sebuah kelahirannya, laut yang
berbuih garam itu, mengajari aku tentang caram enghormati dan menjaga tetamian dari sang pengawit peradabanku.
Jejakkupu-kupu terakhir
yang aku temukan pada kelopak cangnging ini
adalah jejak kupu-kupu yang bernama Claire Holt. Dari Bungan cangnging ini, kupu-kupu ini kemudian terbang mengibas awan dan
memintal angin oleh sepasang sayapnya menuju Pura Dalem Ped, dan hinggap pada sepucuk
bunga tunjung yang tak pernah ke akar air. Aku tahu kekaguman Claire Holt pada Pura Dalem Ped terletak pada
lay out pura ini. Dari catatan kekaguman
kupu-kupu Claire Holt yang tertinggal di kelopak Bungan cangnging ini, aku semakin tahu bahwa
kupu-kupu ini mengagumi tata ruang pura ini yang sangat menarik dengan terdapatnya
taman di samping pura. Tata ruang yang demikian tidak lasim pada pura-pura yang
ada di Bali. Jejak kupu-kupu Claire Holt pada kelopak cangnging ini juga menggoreskan catatan yang sama terhadap pura Batu
Medau dan pura Batu Kuning. Inilah jejak kupu-kupu Claire Holt yang
mengingatkan dan mengajariaku tentang keagungan sebuah identitas bakti leluhur kepada
Tuhan, pada tataruang Pura Dalem Ped, Pura Batu Medau, dan Pura Batu Kuning,
tata ruang hanya ada di tanah ini, tanah Nusa Penida. Akupun mengerti bahwa identitas
sangat penting untuk menjadi diri sendiri, tidak perlu sama apalagi seragam karena
pelangi tidak perlu cantik pada warna yang lahir pada satu rahim. Burung kaka tua yang hinggap di pohon gepuh Pura Dalem Ped, yang tertinggal pada
jejak kupu-kupu Claire Holt itu, bercerita untukku bahwa tanah Nusa Penida ini selalu
merangkai cinta pada mimpi, nafas dan tanah, Tri Hita Karana itu. Kehidupan yang menyulam cinta antara humus, kambium,
dan buah untuk tunas yang menjadi tua.
Aku akan selalu merawat
sekuntum bunga cangnging yang
menyimpan jejak empat kaki kupu-kupu tentang taksu dan tengetnya tanah
Nusa Penida ini. Bungan cangnging ini
adalah air bening yang membagi wajahku untuk menjaga tanah ini. Jejak kaki
kupu-kupu itu adalah dingin dan panas tanah ini. Akan aku bentangkan jejak kupu-kupu
ini pada tiap jejak kakiku untuk tanah Nusa Penida, karena anak keledai pun
bersumpah untuk tidak tenggelam pada kali kedua, pada tanah yang menjadi kubur
yang sama. Semoga empat jejak kaki kupu-kupu itu menjadi sinar bulan untuk bayanganku
pada malam, ketika aku akan menjaga taksu,
identitas pura yang dibangun di tanah ini, tanah Nusa Penida.
I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Catatan
Tulisan ini sudah pernah dimuat
oleh harian Bali Post edisi Minggu Kliwon, 27 April 2008, pada rubrik apresiasi
No comments:
Post a Comment