Aroma Politis Religius Perbatasan Menjadi Api Puputan Klungkung



Bumi dijajah, harga diri diinjak-injak, rakyat Klungkung jengah, kemudian ikut mengangkat senjata melawan Belanda habis-habisan sampai darah takmampu lagi mengalir, karena hari mau yang sedang tidur pun akan terbangun dan memangsa elang yang hinggap di ujung hidungnya. Perlawanan rakyat Klungkung inilah yang dikenang sampai sekarang sebagai Puputan Klungkung. Dalam puputan itu, aku tahu, kematian tidak lagi menakutkan. Kematian dalam peperangan mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri, sesungguhnya kematian yang akan menempati tempat yang amat mulia, yaitu sorga. Mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri lebih tinggi nilainya dari pada sebuah kehidupan duniawi. Inilah aroma relegius yang disampaikan helai bulu sayap yang dijatuhkan oleh burung-burung kecil itu kepadaku, untuk menjadi energi pada tiap aliran darahku, tunas yang tumbuh di tanah Klungkung ini.

Angin Yang  Bercerita Dingin Kepada  Tunas Yang Berharap Hujan
Oleh I Made Sudarma

Dari teras asrama Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Banjar Angkan ini, sebuah jembatan yang ditarik dari pinggang ketinggian tanah Banjar Angkan menuju pinggang bukit Tulikup, telah sampai pada mataku yang selalu menyimpan tunas-tunas padi sore. Tidak ada catatan yang ditinggalkan oleh air pada tukad yang kering tentang jembatan itu, kecuali aku tahu dari selembar kain usang yang mengalir bersama air irigasi ini, bahwa jembatan itu dibangun dari cita-cita untuk memudahkan perjalanan ekonomi Klungkung-Gianyar yang dicatat pada tiap gumpalan asap hitam, yang muncrat dari knalpot kendaraan yang melintas melewati jembatan itu. Sebuah tiang penyangga jembatan itu menyelinap keluar dari rimbun-rimbun yang menutupi lembah bukit Tulikup. Dan beberapa helai daun melintas, merambat pada tiang itu. Burung-burung kecil pun terbang melintas di atasnya. Dari kibasan selembar bulu sayap yang dijatuhkan oleh burung-burung itu, aku mencium dua aroma angin, angin Klungkung dan angin Gianyar. Aku akhirnya paham bahwa burung-burung itu tiap hari, atau tiap jam, bahkan mungkin tiap menit selalu eksodus dari pohon-pohon bukit Tulikup ke ranting-ranting semua pohon tanah Banjar Angkan. Begitu juga sebaliknya. Burung-burung itu terbang di bawah awan putih yang bergelayut di langit jembatan itu bersama angin yang dikirim oleh lambaian daun-daun sabo yang tumbuh di halaman depan SKB ini kepada pelukan pucuk-pucuk daun kelapa bukit Tulikup itu.
Ketika matahari menjemput malam dari balik bukit Tulikup, ketika semua kegiatan belajarku sampai pada istirahat, saat aku mengikuti diklat prajabatan CPNSD di SKB ini, burung-burung kecil yang melintas di atas jembatan itu mengajak aku menari mengikuti irama gumpalan-gumpalan asap rokok yang aku hembuskan dari nafas hidungku. Burung-burung yang terbang, helai daun yang merambat di tiang penyangga jembatan itu member aku cinta tentang jembatan yang menjaga sebuah perbatasan, seperti angin yang bercerita dingin kepada tunas-tunas yang berharap hujan. Dari jembatan itu, dua wilayah pemerintahan Kabupaten, Klungkung dan Gianyar, dipisahkan dalam bahasa perbatasan.
Jembatan yang selalu mengucapkan selamat dating dan selamat jalan kepada tiap orang yang melewatinya itu, menghembuskan wangi dupa dan meluluhkan aku dalam cerita beraromapolitis dan relegius, berawal dari sebuah perbatasan, yang pernah terjadi di bumi Klungkung ini. Cerita tentang tanah yang menjadi air mata dan menjadi darah pengakuan untuk sebuah perbatasan yang menjadi api, puputan Klungkung itu.
Sebelum jembatan ini dibangun, sebelum menjadi penjaga perbatasan yang selalu menjadi saksi bisu tentang eksodus burung-burung kecil itu, sebuah perbatasan. Klungkung dan Gianyar, pernah menjadi darah dan air mata yang tumpah di bumi Klungkung ini, dalam cerita Puputan Klungkung. Puputan Klungkung menjadi api yang membakar bumi Klungkung karena disulut oleh pertikaian soal perbatasan antara Kerajaan Klungkung dengan Kerajaan Gianyar. Jalan damai, seperti bening dalam bulan yang tenggelam di dalam air kolam, pernah dicoba untuk menyelesaikan persoalan perbatasan ini dengan mengadakan perundingan. Dalam perundingan yang terjebak pada benang kusut, yang terjadi pada tahun 1902 itu, Kerajaan Klungkung diwakili oleh Dewa Agung Putra dan Kerajaan Gianyar yang telahm enjadi “milik” Belanda diwakili oleh Controleur Schwartz dan residen Bali-Lombok, Johanes Eshbach. Seperti umpan yang hendak menjerat ikan pada sungai yang tak berair, Belanda sesungguhnya ingin menguasai Kerajaan Klungkung lewat jerat yang dipasang dalam meja perundingan itu. Hasrat tak pernah sampai, jerat yang dibentangkan Belanda untuk menjerat Kerajaan Klungkung hancur oleh keteguhan hati Raja Klungkung untuk mempertahankan bumi Klungkung ini, karena aku tahu bahwa batu karang yang menjadi tebing akan selalu menjaga tanah dan cerita kehidupan dari air laut yang menjadi lidah ombak bergaram. Dalam perundingan itu, Raja Klungkung hanya mau menyerahkan wilayah Abiansemal dan Sibang, tetapi tetap menolak kalau Belanda mengadakan patroli di wilayah Kerajaan Klungkung.
Seperti sengatan pedas serombotan Klungkung yang sampai pada ujung lidah, kemudian melelehkan ludah yang mengental, netyasemaya itu, pada tanggal 16 april 1908, Laskar Gegel menyerang sepuluh serdadu Belanda yang sedang melakukan patroli di wilayah Kerajaan Klungkung. Belanda tidak menepati janji yang telah disepakati dalam perundingan itu, seperti gerimis yang tak pernah sampai pada hujan dalam hembusan angin bidakjukung nelayan. Dalam penyerangan terhadap serdadu Belanda itu, dua belas prajurit Gelgel gugur mempertahankan kesetiaan pada janji yang telah diucapkan, karena ludah yang telah menjadi tanah enggan pulang keujung lidah. Inilah kesetiaan benang sari dengan kepala putik untuk buah yang menjadi tunas, satya semaya itu.
Mengingkari janji dari hasrat untuk menguasai, Belanda menganggap penyerangan laskar Gelgel itu adalah pembangkangan Kerajaan Klungkung. Sehingga pada tanggal 27 April 1908, Belanda mendaratkan pasukannya di Jumpai. Pada tanggal 28 April 1908, Belanda kemudian melepaskan peluru dari mulut-mulut meriamnya untuk menmghancurkan bumi Klungkung.
Bumi dijajah, harga diri diinjak-injak, rakyat Klungkung jengah, kemudian ikut mengangkat senjata melawan Belanda habis-habisan sampai darah takmampu lagi mengalir, karena hari mau yang sedang tidur pun akan terbangun dan memangsa elang yang hinggap di ujung hidungnya. Perlawanan rakyat Klungkung inilah yang dikenang sampai sekarang sebagai Puputan Klungkung. Dalam puputan itu, aku tahu, kematian tidak lagi menakutkan. Kematian dalam peperangan mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri, sesungguhnya kematian yang akan menempati tempat yang amat mulia, yaitu sorga. Mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri lebih tinggi nilainya dari pada sebuah kehidupan duniawi. Inilah aroma relegius yang disampaikan helai bulu sayap yang dijatuhkan oleh burung-burung kecil itu kepadaku, untuk menjadi energi pada tiap aliran darahku, tunas yang tumbuh di tanah Klungkung ini.
Pada preistiwa Puputan itu, tak terhitung berapa banyak darah menetes membasahi bumi Klungkung, kemudian tumbuh menjadi bunga kusuma bangsa. Dari keluarga kerajaan, seratus delapan yang gugur, termasuk wanita dan anak-anak, serta sekitar seribu orang prajurit yang juga gugur. Bahkan demi mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri, putramah kota, Dewa Agung Gede Agung yang baru berumur dua belas tahun juga ikut mengangkat senjata dalam puputan itu. Dari bunga galing-galing yang mekar pada dinding jembatan itu, aku hirup aroma politis tentang puputan Klungkung itu, bahwa kekalahan tidaklah diikuti dengan penyerahan, akan tetapi diikuti dengan semangat perang sampai habis-habisan, karena buah kelapa yang terusir dari pahangannya itu telah membedakan puyung dan tidak berisi. Aroma ini akan aku hirup dan aku jadikan energy untuk menjaga bumi Klungkung ini.
Inilah cerita tentang Puputan Klungkung yang bergelayut dalam kecintaanku kepada bumi Klungkung ini, yang diingatkan oleh jembatan penjaga perbatasan, jembnatan BanjarAngkan-Tulikup itu. Ketika burung-burung tidak lagi mengibaskan sayapnya pada langit jembatan itu, dan ketika matahari beranjak pulang menuju langit yang menjadi tembaga, langit di balik bukit Tulikup itu, aku masih sendiri di teras asrama SKB ini. Aroma cerita puputan Klungkung ini akan aku hirup dalam-dalam, kemudian aku hembuskan dalam pelukan tanganku terhadap bumi Klungkung ini, seperti pelukan imajinasiku terhadap bintang-bintang dalam tiap hembusan asap rokok ini.






I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Catatan
Tulisan ini sudah pernah dimuat oleh harian Bali Post edisi Minggu Kliwon, 27 April 2008, pada rubrik apresiasi
Share:

Jejak Kupu-kupu Tentang Taksu dan Tengetnya Tanah Nusa Penida




Aku akan selalu merawat sekuntum bunga cangnging yang menyimpan jejak empat kaki kupu-kupu tentang taksu dan tengetnya tanah Nusa Penida ini. Bungan cangnging ini adalah air bening yang membagi wajahku untuk menjaga tanah ini. Jejak kaki kupu-kupu itu adalah dingin dan panas tanah ini. Akan aku bentangkan jejak kupu-kupu ini pada tiap jejak kakiku untuk tanah Nusa Penida, karena anak keledai pun bersumpah untuk tidak tenggelam pada kali kedua, pada tanah yang menjadi kubur yang sama. Semoga empat jejak kaki kupu-kupu itu menjadi sinar bulan untuk bayanganku pada malam, ketika aku akan menjaga taksu, identitas pura yang dibangun di tanah ini, tanah Nusa Penida

Sekuntum Bunga Tunjung Yang Tak Pernah Sampai Pada Akar Air
Oleh I Made Sudarma

Ketika matahari bercerita sore pada langit yang menjadi tembaga, sekuntum Bungan cangnging tergelincir dari cabangnya, di kilir angin yang kehilangan panas. Aku duduk di celabah cubing ini menunggu malam yang buram tak berpenghuni. Sekuntum Bungan cangnging ini jatuh di pabinanku bersama wangi yang dikirim oleh angin. Aku tahu, Bungan cangnging adalah bunga yang terusir dari pohon cangnging tua yang tumbuh di bibir bataran tegalan, tanah berbatu dan berundag-undag, tanah Nusa Penida, di samping cubing ini.

Dari kelopak Bungan cangnging ini, aku menemukan empat jejak kaki kupu-kupu yang pernah hinggap pada bunga ini. Kupu-kupu itu datang seperti angin melintasi samudra, mendaki gunung, hanya untuk hinggap, bukan untuk menghisap madunya tetapi hanya sekadar singgah untuk menikmati dan mengagumi warna-warna kelopaknya pada fotosentesis bakti untuk sinar suci, sinar Tuhan. Bungan cangnging ini adalah tanah Nusa Penida yang tumbuh menjadi bunga, dan menebarkan aroma harum kesetiap angin yang dihirup menjadi nafas, seperti sayap kunang-kunang yang menjadi gemerlip bintang pada sinar bulan yang belum sampai ke tanah. Aku akan merawat Bungan cangnging ini untuk sebuah cermin yang menyisir rambutku setelah malam. Di kelopak Bungan cangnging ini, aku dapatkan pipil tentang tanah yang menjadi bunga. Akupun tahu tentang taksu dan tengetnya tanah Nusa Penida ini pada pura yang dibangun dengan identitas bakti leluhurku, leluhur tanah ini, kepada rahim suci bening yang melahirkanaku dan tanah ini, bakti untuk Tuhan.

Kupu-kupu pertama hinggap pada kelopak Bungan cangnging ini, kemudian terbang bersama angin yang dihembuskan oleh daun-daun menuju Pura Meranting di Batukandik, dan hinggap pada pyramid emas yang dirangkai oleh aroma bunga dan kemenyan. Kupu-kupu ini bernama Covarubias yang mencatat kekagumannya terhadap Pura Meranting pada kelopak cangnging ini, menjadi catatan Island Of Bali. Dalam kekagumannya itu, Covarubias menggoreskan kalimat“The Magnificet stone altar, a Piramidtwelye feet hight surrounded by the torso of women with large breasts supporting on her head a stone throne”untuk Pura Meranting ini. Dari catatan yang digoreskan di kelopak Bungan cangnging ini, aku tahu bahwa Covarubias mengagumi cita rasa seni pada peradaban leluhur Nusa Penida yang mengepul ke langit dari Pura Meranting yang dibangun, sebagai tempat pemujaan dari batu yang sangat bagus berbentuk pyramid dengan ketinggian dua belas kaki, dan sebuah singgasana batu dijunjung oleh seorang wanita cantik yang susunya besar. Inilah persembahan kuwangen dengan kidung-kidung keindahan oleh leluhur Nusa Penida untuk kekuatan yang telah melahirkannya dari Rahim api, air, dan tanah, Tuhan, yang diparafrasekan dengan tempat memuja sinarNya, Pura Meranting itu, yang dibangun dari manah sewangi bunga dan sejernih hujan pada pelangi. Inilah persembahan seni yang tertinggi yang dimiliki oleh leluhur Nusa Penida, yang diajarkan kepadaku. Kekaguman serupa juga aku temukan pada jejak kaki kupu-kupu Stuterhein yang digoreskan pada kelopak Bungan cangnging ini, tentang pura meranting. Pada jejak kaki kupu-kupu itu, aku membacanya bahwa Sanggran pura meranting itu sebagai meghalitica (batubesar) yang disebut sebagai Een Interessante Surya Zetel. Kelopak Bungan cangngingini pun memberitahukan aku tentang kekaguman kupu-kupu Stuterhein akan Pura  Meranting sebagai sebuah singgasana Bhatara Surya yang sangat menarik.

Kupu-kupu yang bernama CJ.Grader juga pernah hinggap dan mennggalkan jejak pada kelopak cangnging ini, lalu terbang menyibak awan yang bertengger di atas langit tanah ini, menuju puncak Nusa Penida, puncak yang sampai pada angin dingin, Pura Puncak Mundi, kemudian hinggap pada batu yang menjadi lumut. Kupu-kupu CJ.Grader mengagumi hal yang paling indah tentang penghormatan terhadap daun-daun kering yang menjadi humus dari pura ini, adalah cara sebagian orang-orang Nusa Penida apabila memugar pura, bangunan lama yang dianggaps angat keramat tidak tersentuh. Apabila mereka ingin bangunan baru, mereka akan mendirikan di samping bangunan lama (peninggalan) yang ada dibuat dengan keadaan dan selera masa kini. Jejak kaki kupu-kupu CJ.Grader yang tertinggal pada kelopak cangging ini mengajari aku tentang cara menghormati bakti leluhur dari peradaban yang dibangun di tanah ini. Malam berganti siang, tetapi peradaban harus tetap dijaga dari sinar kunang-kunang dan nyanyian  burung-burung kecil. Air hujan yang selalu mencari rahim untuk sebuah kelahirannya, laut yang berbuih garam itu, mengajari aku tentang caram enghormati dan menjaga tetamian dari sang pengawit peradabanku.

Jejakkupu-kupu terakhir yang aku temukan pada kelopak cangnging ini adalah jejak kupu-kupu yang bernama Claire Holt. Dari Bungan cangnging ini, kupu-kupu ini kemudian terbang mengibas awan dan memintal angin oleh sepasang sayapnya menuju Pura Dalem Ped, dan hinggap pada sepucuk bunga tunjung yang tak pernah ke akar air. Aku tahu kekaguman  Claire Holt pada Pura Dalem Ped terletak pada lay out pura ini. Dari catatan kekaguman kupu-kupu Claire Holt yang tertinggal di kelopak Bungan cangnging ini, aku semakin tahu bahwa kupu-kupu ini mengagumi tata ruang pura ini yang sangat menarik dengan terdapatnya taman di samping pura. Tata ruang yang demikian tidak lasim pada pura-pura yang ada di Bali. Jejak kupu-kupu Claire Holt pada kelopak cangnging ini juga menggoreskan catatan yang sama terhadap pura Batu Medau dan pura Batu Kuning. Inilah jejak kupu-kupu Claire Holt yang mengingatkan dan mengajariaku tentang keagungan sebuah identitas bakti leluhur kepada Tuhan, pada tataruang Pura Dalem Ped, Pura Batu Medau, dan Pura Batu Kuning, tata ruang hanya ada di tanah ini, tanah Nusa Penida. Akupun mengerti bahwa identitas sangat penting untuk menjadi diri sendiri, tidak perlu sama apalagi seragam karena pelangi tidak perlu cantik pada warna yang lahir pada satu rahim.  Burung kaka tua yang hinggap di pohon gepuh Pura Dalem Ped, yang tertinggal pada jejak kupu-kupu Claire Holt itu, bercerita untukku bahwa tanah Nusa Penida ini selalu merangkai cinta pada mimpi, nafas dan tanah, Tri Hita Karana itu. Kehidupan yang menyulam cinta antara humus, kambium, dan buah untuk tunas yang menjadi tua.

Aku akan selalu merawat sekuntum bunga cangnging yang menyimpan jejak empat kaki kupu-kupu tentang taksu dan tengetnya tanah Nusa Penida ini. Bungan cangnging ini adalah air bening yang membagi wajahku untuk menjaga tanah ini. Jejak kaki kupu-kupu itu adalah dingin dan panas tanah ini. Akan aku bentangkan jejak kupu-kupu ini pada tiap jejak kakiku untuk tanah Nusa Penida, karena anak keledai pun bersumpah untuk tidak tenggelam pada kali kedua, pada tanah yang menjadi kubur yang sama. Semoga empat jejak kaki kupu-kupu itu menjadi sinar bulan untuk bayanganku pada malam, ketika aku akan menjaga taksu, identitas pura yang dibangun di tanah ini, tanah Nusa Penida.




I Made Sudarma

Guru Bahasa Indonesia

SMP Negeri 1 Nusa Penida

Catatan

Tulisan ini sudah pernah dimuat oleh harian Bali Post edisi Minggu Kliwon, 27 April 2008, pada rubrik apresiasi
Share:

Ngelawang Semangat Relegius Seni Untuk Tanah Bali


https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1534782372881251339#editor/target=post;postID=8186419611034832534

Jejak Sangut Delem Ngiring Rawana Menuju Arena PKB
Oleh I Made Sudarma
Angin yang datang bersama dingin membawa suara kulkul itu pada malam yang mulai tiba di sinar bulan. Aku mendengarnya dari hentakan angin yang memantulkan dingin. Daun yang tak berklorofil hanya menjadi cermin-cermin kecil untuk sinar bulan yang tak pernah sampai ke tanah. Kulkul dari bale banjarku itu memanggil semua sekaagong anak-anak di banjarku, untuk latihan malam ini. Mereka adalah tunas-tunas seni yang dipersiapkan untuk ikut memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) nanti, seperti belai daun plamboyan yang mengucup, yang selalu menyiapkan malam untuk mimpi tanah basah. Sejak dini, dalam jiwa mereka telah ditanamkan semangat untuk mempelajari budaya tanah bali ini, megambelan itu, karena air dan tanah telah mencatat bahwa sembilu pada ujung tunas ilalang lebih runcing menyayat malam hitam. Semoga rahim apresiasi budaya mereka tidak mengembang karena pemerkosaan benang sari apresiasi budaya yang telah tua.
Pada suara kulkul itu, tiba-tiba dalam ingatanku, sepotong kayu sakti, yang semula tumbuh di Pemerajan Puri Mengwi yang ingin membicarakan tentang Bali lewat karya tumbuh di Pemerajan Puri Mengwi, yang ingin membicarakan tentang Bali lewat karya seni, menyelinap balik kepingan malam yang tersayat oleh dingin. Potongan kayu itu adalah sisa pembuatan kulkul yang akan mengirim semangat relegius seni keseluruh tanah Bali, seperti kambium yang selalu mengirim kompos yang menjadi air untuk tunas yang menjadi matahari tua.
Oleh Ida Pedanda Batan Cempaka di Puri Abiansemal, setelah mendapat pawisik dari pura Jati, setelah Beliau ngastawa, potongan kayu sakti itu agar digunakan untuk membuat Barong Naga dan diikuti oleh Parwa. Pada ujung daun yang melambai angin, pawisik itu dilaksanakan oleh Ida Pedanda Batan Cempaka, potongan kayu sakti, sisa pembuatan kulkul di Puri Mengwi itu, di belah menjadi dua, satunya dipakai kepala Barong Naga dan satunya lagi dipakai Tapel Sangut. Juga diambil sepotong kayu yang bekas terbakar, yang juga dibelah dua. Satu bagian dibuat menjadi Tapel Delem dan satu bagian lagi dibuat menjadi tapel Rawana. Malam yang menelan nafas menjadi mimpi ini memberitahukan aku, bahwa inilah karya seni yang lahir dari persetubuhan kreatifitas dengan relegius, seperti padi yang menguning untuk sebuah kehidupan.
Pembuatan Tapel berakhir. Pementasan parwa dari tapel-tapelitu telah disiapkan. Namun, daun-daun yang mengembang, yang menjaring matahari, tiba-tiba menguncup kembali, ketika awan hitam menjadi airyang membasahi tanah. Tapel Bareng Naga tiba-tiba hilang menjadi angin yang tak beralamat. Pementasan Parwa tak pernah sampai kepanggung, Tapel Rawana,tapel Sangut, dan tapel delem, yang masih tersisa, kini disemayamkan di Pemerajan Puri Ida Pedanda Cempaka. Namun tidak lama kemudian, ketiga Tapel itu juga menghilang, tidak diketahui sebab musababnya.
Seseorang bernama Kicen yang kemudian disebut Pan Jempaluk dari Pulau Nusa Penida, kemudian menemukan tapel Rawana, tapel Sangut, dan tapel Delem itu, di Pura Dalem Nusa (sebelum diubah namanya menjadi Pura Penataran Ped). Seperti wangi bunga yang dikirim angin keujung hidung kumbang bernapas wangi, berita tentang penemuan ketiga tapel ini sampai kepada I Dewa Agung, di Puri Klungkung. Pada saat itu, wilayah subak Sampalan sedang menderita penyakit tanaman , hama itu, dan musim pun tidak berbuah biji-biji panen. Untuk itu, I Dewa Agung memerintahkan Klian Subak sampalan memohon agar tanaman di Sampalan terhindar dari hama, kepada ketika tapel itu di Pura dalem Nusa. Apabila tanaman di Subak Sampalan terhindar dari hama, Klian Subak Sampalan masesangi akan mengadakan upacara peed. Hama tanaman tidak pernah datang lagi ketanaman subak Sampalan setelah sesangi itu diucapkan. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa  menjadi Pura Dalem Ped. Piodalan  dan sesangi mapeed telah disiapkan. Namun, sehari sebelum piodalan dan sesangi itu dilaksanakan tapel Sangut, tapel Delem dan tapel Rawana itu, tiba-tiba hilang.
Tersebutlah sekarang di Subak Gelagah di wilayah Marga, sedang kekurangan air. Tanah mongering pada pecahan-pecahan sinar matahari yang mengirim panas. Buah tidak terkirim oleh tanah kepada napas. Pada saat itu pula, seorang putra dari Puri Marga sedang sakit yang tak kunjung sembuh. Namun pada malam hitam yang berselimut dingin, anggota subak Gelagah melihat tiga buah tapel, tapel Delem, tapel Sangut, dan tapel Rawana. Mendengar berita itu, Anake Agung dari Puri Marga memohon kepada ketiga tapel itu agar Subak Gelagah terhindar dari kekurangan air dan putranya dapat sembuh dari sakit. Permohonan Anake Agung terkabulkan. Subak Gelagah tidak lagi kekurangan air dan putra mahkota sembuh dari penyakit yang dideritanya.
Setelah subak Gelagah tidak lagi kekurangan air dan setelah Putra Mahkota sembuh dari penyakitnya, seseorang dari desa Gelagah mendapat pawisik, bahwa tapel-tapel itu ingin pindah lagi ke Pura Ole. Masyarakat Gelagah menolak kehendak ketiga tapel itu. Karena keinginan masyarakat Gelagah dipaksakan agar tapel-tapel itu tidak berpindah, maka wabah penyakit menyerang Desa Gelagah, banyak masyarakat yang meninggal. I Penyariakan Gelagah yang masih hidup kemudian mengungsi ke Desa Ole, dan menyuruh Penyariakn Desa Ole menjemput ketiga tapel itu di Desa Gelagah untuk disemayamkan di Pura Puseh Desa Ole.
Setelah lama di Pura Puseh Desa Ole, tapel Delem,tapel Sangut, dan tapel Rawana itu, pindah lagi ke Pura Peseh Payangan. Masyarakat Ole tidak berani menolaknya. Setelah di Pura Puseh Payangan, tapel-tapel itu pindah lagi ke Pura Puseh Kembangan, dan terakhir di Pura Tuwa.
Dalam perjalanan tapel Delem, tapel Sangut, dan tapel Rawana, dan cerita lontar Pura Padang Dawa dari bumi Tabanan itu, aku mengerti bahwa karya seni yang lahir dari pembuahan Rahim kreatifitas dengan semangat relegius akan melahirkan tamba untuk tanah yang terluka, seperti ketiga tap[el itu, yang lahir dari sepotong kayu sakti, dari proses kreatifitas Ida Pedanda Batan Cempaka yang diawali dengan proses ngastawa. Karya seni yang diciptakan hanya untuk ngayah bagi tanah Bali ini. Inilah semangat berkesenian yang relegius dari seorang seniman Ida Pedanda Batan Cempaka. Semoga cerita ini, cerita yang tiba-tiba menyelinap dalam suara kulkul banjarku itu, dapat menjadi semangat seniman Bali dalam berkarya untuk Pesta Kesenian Bali (PKB) nanti. Menjadikan PKB yang menebarkan aroma seni yang relegius, seni yang tidak semata-mata mengejar sisi komersial, seperti angin yang menebarkan wangi bunga pada kelopak. Semoga semoga berbagai macam penyakit yang melanda tanah Bali ini, seperti penyakit terkikisnya nilai nilai budaya Bali, atau hilangnya identitas budaya Bali, melaui perhelatan seni, PKB itu, semua penyakit itu dapat disembuhkan, seperti ketga tapel karya I Pedanda Batan Cempaka yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit tanaman dan penyakit manusia.




I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Catatan:
Tulisan ini sudah pernah dimuah oleh harian Bali Post Edisi Minggu Wage, 15 Juni 2008 pada Rubrik Apresiasi
Share:

Popular Posts

Pengunjung