Bumi dijajah, harga diri diinjak-injak,
rakyat Klungkung jengah, kemudian ikut mengangkat senjata melawan Belanda habis-habisan
sampai darah takmampu lagi mengalir, karena hari mau yang sedang tidur pun akan
terbangun dan memangsa elang yang hinggap di ujung hidungnya. Perlawanan rakyat
Klungkung inilah yang dikenang sampai sekarang sebagai Puputan Klungkung. Dalam
puputan itu, aku tahu, kematian tidak lagi menakutkan. Kematian dalam peperangan
mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri, sesungguhnya kematian
yang akan menempati tempat yang amat mulia, yaitu sorga. Mempertahankan kedaulatan,
kemerdekaan, dan harga diri lebih tinggi nilainya dari pada sebuah kehidupan duniawi.
Inilah aroma relegius yang disampaikan helai bulu sayap yang dijatuhkan oleh burung-burung
kecil itu kepadaku, untuk menjadi energi pada tiap aliran darahku, tunas yang
tumbuh di tanah Klungkung ini.
Angin Yang Bercerita Dingin Kepada Tunas Yang Berharap Hujan
Oleh I Made Sudarma
Dari teras asrama Sanggar
Kegiatan Belajar (SKB) Banjar Angkan ini, sebuah jembatan yang ditarik dari pinggang
ketinggian tanah Banjar Angkan menuju pinggang bukit Tulikup, telah sampai pada
mataku yang selalu menyimpan tunas-tunas padi sore. Tidak ada catatan yang
ditinggalkan oleh air pada tukad yang kering tentang jembatan itu, kecuali aku tahu
dari selembar kain usang yang mengalir bersama air irigasi ini, bahwa jembatan itu
dibangun dari cita-cita untuk memudahkan perjalanan ekonomi Klungkung-Gianyar
yang dicatat pada tiap gumpalan asap hitam, yang muncrat dari knalpot kendaraan
yang melintas melewati jembatan itu. Sebuah tiang penyangga jembatan itu menyelinap
keluar dari rimbun-rimbun yang menutupi lembah bukit Tulikup. Dan beberapa helai
daun melintas, merambat pada tiang itu. Burung-burung kecil pun terbang melintas
di atasnya. Dari kibasan selembar bulu sayap yang dijatuhkan oleh burung-burung
itu, aku mencium dua aroma angin, angin Klungkung dan angin Gianyar. Aku akhirnya
paham bahwa burung-burung itu tiap hari, atau tiap jam, bahkan mungkin tiap menit
selalu eksodus dari pohon-pohon bukit Tulikup ke ranting-ranting semua pohon tanah
Banjar Angkan. Begitu juga sebaliknya. Burung-burung itu terbang di bawah awan putih
yang bergelayut di langit jembatan itu bersama angin yang dikirim oleh lambaian
daun-daun sabo yang tumbuh di halaman
depan SKB ini kepada pelukan pucuk-pucuk daun kelapa bukit Tulikup itu.
Ketika matahari menjemput
malam dari balik bukit Tulikup, ketika semua kegiatan belajarku sampai pada istirahat,
saat aku mengikuti diklat prajabatan CPNSD di SKB ini, burung-burung kecil yang
melintas di atas jembatan itu mengajak aku menari mengikuti irama gumpalan-gumpalan
asap rokok yang aku hembuskan dari nafas hidungku. Burung-burung yang terbang,
helai daun yang merambat di tiang penyangga jembatan itu member aku cinta tentang
jembatan yang menjaga sebuah perbatasan, seperti angin yang bercerita dingin kepada
tunas-tunas yang berharap hujan. Dari jembatan itu, dua wilayah pemerintahan Kabupaten,
Klungkung dan Gianyar, dipisahkan dalam bahasa perbatasan.
Jembatan yang selalu mengucapkan
selamat dating dan selamat jalan kepada tiap orang yang melewatinya itu, menghembuskan
wangi dupa dan meluluhkan aku dalam cerita beraromapolitis dan relegius,
berawal dari sebuah perbatasan, yang pernah terjadi di bumi Klungkung ini.
Cerita tentang tanah yang menjadi air mata dan menjadi darah pengakuan untuk sebuah
perbatasan yang menjadi api, puputan Klungkung itu.
Sebelum jembatan ini dibangun,
sebelum menjadi penjaga perbatasan yang selalu menjadi saksi bisu tentang eksodus
burung-burung kecil itu, sebuah perbatasan. Klungkung dan Gianyar, pernah menjadi
darah dan air mata yang tumpah di bumi Klungkung ini, dalam cerita Puputan Klungkung.
Puputan Klungkung menjadi api yang membakar bumi Klungkung karena disulut oleh pertikaian
soal perbatasan antara Kerajaan Klungkung dengan Kerajaan Gianyar. Jalan damai,
seperti bening dalam bulan yang tenggelam di dalam air kolam, pernah dicoba untuk
menyelesaikan persoalan perbatasan ini dengan mengadakan perundingan. Dalam perundingan
yang terjebak pada benang kusut, yang terjadi pada tahun 1902 itu, Kerajaan Klungkung
diwakili oleh Dewa Agung Putra dan Kerajaan Gianyar yang telahm enjadi “milik”
Belanda diwakili oleh Controleur Schwartz dan residen Bali-Lombok, Johanes Eshbach.
Seperti umpan yang hendak menjerat ikan pada sungai yang tak berair, Belanda sesungguhnya
ingin menguasai Kerajaan Klungkung lewat jerat yang dipasang dalam meja perundingan
itu. Hasrat tak pernah sampai, jerat yang dibentangkan Belanda untuk menjerat Kerajaan
Klungkung hancur oleh keteguhan hati Raja Klungkung untuk mempertahankan bumi Klungkung
ini, karena aku tahu bahwa batu karang yang menjadi tebing akan selalu menjaga tanah
dan cerita kehidupan dari air laut yang menjadi lidah ombak bergaram. Dalam perundingan
itu, Raja Klungkung hanya mau menyerahkan wilayah Abiansemal dan Sibang, tetapi
tetap menolak kalau Belanda mengadakan patroli di wilayah Kerajaan Klungkung.
Seperti sengatan pedas serombotan
Klungkung yang sampai pada ujung lidah, kemudian melelehkan ludah yang
mengental, netyasemaya itu, pada tanggal
16 april 1908, Laskar Gegel menyerang sepuluh serdadu Belanda yang sedang melakukan
patroli di wilayah Kerajaan Klungkung. Belanda tidak menepati janji yang telah disepakati
dalam perundingan itu, seperti gerimis yang tak pernah sampai pada hujan dalam hembusan
angin bidakjukung nelayan. Dalam penyerangan
terhadap serdadu Belanda itu, dua belas prajurit Gelgel gugur mempertahankan kesetiaan
pada janji yang telah diucapkan, karena ludah yang telah menjadi tanah enggan pulang
keujung lidah. Inilah kesetiaan benang sari dengan kepala putik untuk buah yang
menjadi tunas, satya semaya itu.
Mengingkari janji dari hasrat
untuk menguasai, Belanda menganggap penyerangan laskar Gelgel itu adalah pembangkangan
Kerajaan Klungkung. Sehingga pada tanggal 27 April 1908, Belanda mendaratkan pasukannya
di Jumpai. Pada tanggal 28 April 1908, Belanda kemudian melepaskan peluru dari mulut-mulut
meriamnya untuk menmghancurkan bumi Klungkung.
Bumi dijajah, harga diri
diinjak-injak, rakyat Klungkung jengah, kemudian ikut mengangkat senjata melawan
Belanda habis-habisan sampai darah takmampu lagi mengalir, karena hari mau yang
sedang tidur pun akan terbangun dan memangsa elang yang hinggap di ujung hidungnya.
Perlawanan rakyat Klungkung inilah yang dikenang sampai sekarang sebagai Puputan
Klungkung. Dalam puputan itu, aku tahu, kematian tidak lagi menakutkan.
Kematian dalam peperangan mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri,
sesungguhnya kematian yang akan menempati tempat yang amat mulia, yaitu sorga. Mempertahankan
kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri lebih tinggi nilainya dari pada sebuah kehidupan
duniawi. Inilah aroma relegius yang disampaikan helai bulu sayap yang
dijatuhkan oleh burung-burung kecil itu kepadaku, untuk menjadi energi pada tiap
aliran darahku, tunas yang tumbuh di tanah Klungkung ini.
Pada preistiwa Puputan itu,
tak terhitung berapa banyak darah menetes membasahi bumi Klungkung, kemudian tumbuh
menjadi bunga kusuma bangsa. Dari keluarga kerajaan, seratus delapan yang
gugur, termasuk wanita dan anak-anak, serta sekitar seribu orang prajurit yang
juga gugur. Bahkan demi mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, dan harga diri,
putramah kota, Dewa Agung Gede Agung yang baru berumur dua belas tahun juga ikut
mengangkat senjata dalam puputan itu. Dari bunga galing-galing yang mekar pada dinding jembatan itu, aku hirup aroma
politis tentang puputan Klungkung itu, bahwa kekalahan tidaklah diikuti dengan penyerahan,
akan tetapi diikuti dengan semangat perang sampai habis-habisan, karena buah kelapa
yang terusir dari pahangannya itu telah
membedakan puyung dan tidak berisi.
Aroma ini akan aku hirup dan aku jadikan energy untuk menjaga bumi Klungkung ini.
Inilah cerita tentang Puputan
Klungkung yang bergelayut dalam kecintaanku kepada bumi Klungkung ini, yang
diingatkan oleh jembatan penjaga perbatasan, jembnatan BanjarAngkan-Tulikup itu.
Ketika burung-burung tidak lagi mengibaskan sayapnya pada langit jembatan itu,
dan ketika matahari beranjak pulang menuju langit yang menjadi tembaga, langit di
balik bukit Tulikup itu, aku masih sendiri di teras asrama SKB ini. Aroma
cerita puputan Klungkung ini akan aku hirup dalam-dalam, kemudian aku hembuskan
dalam pelukan tanganku terhadap bumi Klungkung ini, seperti pelukan imajinasiku
terhadap bintang-bintang dalam tiap hembusan asap rokok ini.
I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Catatan
Tulisan ini sudah pernah dimuat oleh
harian Bali Post edisi Minggu Kliwon, 27 April 2008, pada rubrik apresiasi