Tri Hita Karana Tiga Titik Keselarasan Hidup



Inilah cerita yang dilahirkan dari Rahim imajinatif Gde Artawan, di ruang kreatif, pada rumah kecil bergaya Bale Meten, di rumah urutan kelimabelas jalan Pulau Samosir empat Singaraja, yang menunjukkan kepadaku bahwa hidup hanya akan dapat terus berputar pada rotasi santhi jika hubungan pada tiga titik, Tri Hita Karana itu, tetap terjaga dan selalu selaras. Inilah perjalanan iar hujan menjadi danau, kemudian terbang bersama angin dan sinar matahari menjadi awan hitam, dan akhirnya lahir kembali menjadi ujan, yang harus aku jaga pada setiap butiran tanah yang menjadi telapak kakiku diwajah matahari dan bulan , seperti Gde Suara, Leny, dan hewan piraannya yang akhirnya harus berkumpul kembali, dalam cerita cerpen “Sepi” karya Gde Artawan itu.

Ujung Sore Liku-Liku Pulau Samosir Singaraja
Oleh I Made Sudarma

Di ujung timur Kota Singaraja, pada wilayah Kubu Jati, beberapa tahun yang lalu, di rumah kecil bergaya bale meten dengan tembok bata yang tidak diplester, aku sering berkunjung ke tempat itu. Halaman rumah yang luas, rumput-rumput jepang menyelinap di antara ketiak beton segi empat yang ditebarkan di seluruh permukaan tanah halaman rumah kecil itu. Bangku kayu hanya membisu pada tatapan manusia-manusia kayu yang selalu tersipu menjaga beranda rumah kecil itu. Di wajah beranda rumah itu, hembusan angin tersesat dalam air yang tidak pernah sampai pada kupu-kupu melepas air, pada kolam kecil yang selalu menjatuhkan air pada buih yang menjadi tebing menuju lumut.
Rumah pada urutan kelima belas, pada liku-liku jalan Pulau Samosir IV Singaraja, di rumah Gde Artawan itu, dulu biasanya berkunjung untuk sekadar menghabiskan ujung sore sambil menikmati menu tentang lezat dan nikmatnya kata-kata, karena aku dan Pak De (begitu aku biasa memanggil Gde Artawan) adalah pengagum kata-kata. Dari rumah kecil itu, aku akhirnya tenggelam dalam lautan sayap makna kata, dan menjadiakan aku sebagai makhluk yang telah menyerahkan diri pada kebesaran kata-kata itu, seperti ombak yang menjadi buih dan menyerahkan diri pada hamparan pasir yang mengecap garam.
Ujung sore pada liku-liku Jalan Pulau Samosir Singaraja itu, tiba-tiba saja menyelinap kembali dalam pintalan ingatanku, dari selembar potongan cerita tentang hidup yang sepi karena putusnya rantai Tri Hita Karana, dalam cerpen “Sepi” karya Gde Artawan, cerpen yang aku kleping dari Bali Post, Oktober 2004, ketika aku masih bermukim di Singaraja.
Dalam cerpen “Sepi” itu, Gde Artawan membicarakan tentang tiga titik yang harus selaras dan harmoni dalam kehidupan, yaitu selaras dengan Tuhan (parahyangan), selaras dengan lingkungan (palemahan), dan selaras antar manusia atau masyarakat (pawongan), yang dibungkus dalam konsep Tri Hita Karana. Kalau tiga titik ini sampai putus, dipastikan hidup manusia tidak akan sejahtera, seperti hujan yang diputus angin pada buah yang menuju tua.
Leny, manusia imajinatip yang dihadirkan Gde Artawan dalam cerpen “Sepi” itu, telah mengkambinghitamkan binatang-binatang peliharaan suaminya, Gde Suara, atas ketidaksanggupannya mempersembahkan anak kepada suaminya. Leny kemudian menyuruh Gde Suara melepaskan, bahkan menjual semua binatang peliharaan suaminya itu. Hal itu karena Leny mendapatkan bisikan dari orang mengaku para normal, yang menyebutkan bahwa dia tidak bisa hamil karena suaminya mengurung binatang-binatang itu. Istrinya mendesak agar dia melepaskan semua hewan piaraan yang selama ini yang ada di rumahnya, karena menurut bisikan orang yang mengaku paranormal, istrinya tidak bisa hamil karena dia memelihara banyak hewan. Untuk itu, semunya harus diberi kebebasan untuk kembali kehabitatnya, jangan dikurung. Mengurung hewan sama dengan mengurung keinginan para leluhur untuk numitis kedunia. “Leny terus mendesak Gde Suara untuk melepaskan hewan-hewan itu, “Aku tidak akan kembali kerumah, jika Beli masih memelihara hewan-hewan itu”.
Dari cerita itu, aku memahami bahwa Gde Suara telah dihadapkan pada dua pilihan ujung tanduk yang sampai pada lapisan tipis kulit telur. Memilih Leny, istri yang dicintainya, atau hewan peliharaanya yang juga dirawat dengan cinta. Pada matahari yang menjelang lahir dari ketiak bukit, Gde Suara harus mengambil keputusan yang tepat. Hewan-hewan peliharaan itu pun akhirnya dilepaskan. Di sinilah, lewat cerpen “Sepi” itu Artawan menceritakan bahwa ketika keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan) harus diputus oleh egoisme, oleh ketidak mampuan manusia yang akhirnya mengkambinghitamkan lingkungan.
Setelah hewan-hewan piaraan itu dilepas, Gde Suara ternyata tidak bisa berkonsentrasi kepada istrinya, berkonsentrasi untuk menunggu kehamilan istrinya dan kelahiran anaknya (karena memang sampai akhir cerita, istrinyatidak kunjung hamil). Akan tetapi, Gde Suara semakin merana karena kehilangan hewan-hewan piaraan itu, “Dari rasa kehilangan muncul rasa kesedihan yang dalam dan berongga, sehingga dada hati Gde Suara seakan tercabik-cabik, ingin menangis karena sesak dihati. Dan rasa sedih, selanjutnya dia digeluti rasa sepi yang sangat dalam. “Aku akhirnya mengerti bahwa pemutusan rantai Tri Hita Karana itu akan dapat menyebabkan hidup menjadi merana dan teramat sepi, seperti musim yang memutus kulit kayu untuk tunas yang mulai tumbuh.
Di akhir cerita cerpen “Sepi” itu, Artawan menampilkan peristiwa imajinatif yang mengejutkan dan luar biasa. Leny diceritakan telah menemukan Gde Suara, suaminya, yang yang menghilang setelah rasa sepi yang menyergapnya. Leny dan Gde Suara diceritakan bertemu dalam kerinduan dan cinta yang cantik suara. Suara-suara burung dan gesekan tubuh anjing sambil menjilat kaki mereka, hewan piaraan yang telah mereka lepaskan itu, menghiasi pertemuan mereka: “Bli,Bli Gde…rasa kangen bercampur haru, bercampur rasa tidak percaya, Leny menyergap tubuh lelaki pendek itu lalumerangkulnya, dan kedua telapak tangan halusnya membelai wajah Gde Suara, mengusap rambutnya dan menciumnya. Sementara itu, burungburung tetap berkicau bersahutan satu sama yang lainnya. Rico, anjing berbulu hitam kecoklatan itu, mengesek-gesekan tubuhnya di kaki Gde Suara sambil terkadang menjilatinya”.
Inilah cerita yang dilahirkan dari Rahim imajinatif Gde Artawan, di ruang kreatif, pada rumah kecil bergaya Bale Meten, di rumah urutan kelimabelas jalan Pulau Samosir empat Singaraja, yang menunjukkan kepadaku bahwa hidup hanya akan dapat terus berputar pada rotasi santhi jika hubungan pada tiga titik, Tri Hita Karana itu, tetap terjaga dan selalu selaras. Inilah perjalanan iar hujan menjadi danau, kemudian terbang bersama angin dan sinar matahari menjadi awan hitam, dan akhirnya lahir kembali menjadi ujan, yang harus aku jaga pada setiap butiran tanah yang menjadi telapak kakiku diwajah matahari dan bulan , seperti Gde Suara, Leny, dan hewan piraannya yang akhirnya harus berkumpul kembali, dalam cerita cerpen “Sepi” karya Gde Artawan itu.






I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Catatan:
Tulisan sudah pernah dimuat oleh harian Bali Post Edisi Minggu Paing, 16 November 2008 pada rubrik apresiasi
Share:

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

Pengunjung