Beginilah Roro ini mengajarkan aku dan semua orang-orang Nusa Penida untuk selalu berdamai dengan waktu, seperti induk ayam yang selalu berdamai dengan waktu untuk menunggu pecahnya kulit telur, atau seperti panen yang selalu berdamai pada musim untuk menunggu buah yang menjadi masak. Semoga waktu tidak lagi memecahkan kaca jendela penjualan tiket penyebrangan Nusa Penida-Padangbai, seperti guru yang mengajarkan kepongpong untuk seekor kupu-kupu, berdamai dengan waktu.
Hujan yang Menunggu
Buah pada Musim
Oleh I Made Sudarma
Pernahkah
kita menjadi hujan yang begitu sabar menunggu buah pada musim, untuk selalu
berdamai dengan waktu? Barang kali inilah hujan itu, guru yang membimbing
orang-orang Nusa Penida untuk selalu belajar berdamai dengan waktu. Waktu hanya
bisa tunduk pada daun yang akhirnya sampai ketanah, pada telor yang akhirnya
pecah untuk nafas kehidupan, juga pada bunga yang akhirnya yang menebarkan
biji-biji humus. Aku dan orang-orang Nusa Penida harus mulai sabar, bahwa hujan
yang mengajarkan untuk berdamai dengan waktu telah lahir di pulau yang oleh
pelaut-pelaut Inggris menyebutnya sebagai Bandit Island, Nusa Penida ini. Kapal
Roro inilah guru itu, hujan yang mengajarkan aku dan semua orang Nusa Penida
untuk selalu berdamai dengan waktu.
Di
setiap perjalanan Roro ini, adalah waktu yang menguji setiap kesabaran
orang-orang Nusa Penida, seperti panas pada matahari yang menguji kesabaran
benih yang sedang disiapkan oleh benang sari dan kepala putik. Waktu coba
menjadi sosok yang dibenci dan dan sosok yang membosankan. Pada kaca jendela
loket penjualan tiket penyebrangan yang harus pecah dihantam emosi adalah waktu
telah berhasil menelan kita dalam kealpaan dan emosi yang membunuh kesabaran.
Aku, semua orang-orang Nusa Penida, dan kita semua, harus menjadi induk ayam
yang selalu sabar mengerami, menunggu pecahnya kulit telor-telor itu, karena
Roro ini akan mengajarkan kita untuk selalu berdamai dengan waktu pada urutan
antrean yang harus dibangun. Tidak ada kota yang menjadi berhenti berputar oleh
segerombolan bebek yang menyebrang
jalan. Bebek-bebek itu telah mampu berdamai dengan waktu, selalu memahami arti
tentang pentingnya antre. Kalahkan kita dengan bebek-bebek itu?
Kapal
Roro ini akan selalu mengajarkan aku, semua orang Nusa Penida, dan kita semua
untuk selalu berdamai dengan waktu, disepanjang perjalanannya membunuh
gelombang selat Badung ini. Waktu dibiarkan terus berlari menjauh. Roro belum
juga berangkat. Pada saat inilah, Roro telah mengajarkan aku, orang-orang Nusa
Penida, dan kita semua, untuk menjadi arjuna sebelum berangkat ke Kuru Setra,
arena Bharata Yuda itu, arjuna perlu persiapan, perlu pemikiran, dan perlu
strategi, untuk memenangkan Bharata Yuda itu. Pada saat inilah, Roro telah
mengajarkan kita semua untuk selalu berdamai, menghargai, dan memanfaatkan
waktu, untuk melakukan persiapan sebelum memulai sebuah perjuangan, sebab benih
yang tumbuh sangat bergantung dari biji yang disemai. Hujan tidak pernah sampai
pada akar sebelum angin mengulum air, mendung itu. Nafas kehidupan baru tidak
akan pernah ada sebelum Rahim mengembang kehamilan itu.
“Persiapkanlah
dirimu, wahai anak-anaku. Sebentar lagi pelayaran membunuh ombak, mencari
identitas diri ini, akan kita mulai”. Begitulah teriakan deru mesin kapal Roro
ini ketika masih dipanaskan oleh Sang Nahkoda.
Roro
ini masih saja menjadi hujan ketika perjalanan telah sampai di penghujung, di
pelabuhan Padangbai. Waktu masih saja menjadi guru untuk selalu bersabar dengan
waktu, seperti panen yang menunggu titik hujan terakhir pada musim. Karena,
dibibir pelabuhan Padangbai ini, aku dan semua yang ada di dalam Kapal Roro ini
harus menghabiskan waktu beberapa menit untuk menunggu Roro ini nyandar.
Waktu
telah mengajarkan aku dan semua untuk menghormati antrean, karena Roro ini
harus menunggu Kapal Ferry dari Lombok meninggalkan bibir pelabuhan ini. Inilah
toleransi yang diajarkan kepada aku dan kita semua, belajar menghormati
waktuyang masih menjadi milik orang lain, seperti panas yang selalu menghormati
hujan pada kapat.
Beginilah
Roro ini mengajarkan aku dan semua orang-orang Nusa Penida untuk selalu
berdamai dengan waktu, seperti induk ayam yang selalu berdamai dengan waktu
untuk menunggu pecahnya kulit telur, atau seperti panen yang selalu berdamai
pada musim untuk menunggu buah yang menjadi masak. Semoga waktu tidak lagi
memecahkan kaca jendela penjualan tiket penyebrangan Nusa Penida-Padangbai, seperti
guru yang mengajarkan kepongpong untuk seekor kupu-kupu, berdamai dengan waktu.
I Made Sudarma
Guru Bahasa
Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa
Penida
Catatan:
Tulisan sudah
pernah dimuat oleh harian Bali Post Edisi Minggu Paing, 19 April 2009 pada rubrik
apresiasi
No comments:
Post a Comment