Diskusiku
berakhir ketika matahari menghilang pada langit yang disepuh tembaga.
Dan inilah hasil diskusiku dengan menjadi lumut itu. Aku akhirnya
mengerti bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadi darah dan air mata
pada arang dan abu itu. Semoga hasil diskusi singakat ini menjadikan aku
dan semua manusia, untuk tidak mengasah perbedaan menjadi sembilu yang
memotong urat nadi, tetapi menjadikan perbedaan itu sebagai pelangi pada
sinar matahari yang membelah air hujan. Menjadikan perbedaan itu
kelopak bunga pada taman yang menjadi wangi.
Kupu-kupu untuk Akar yang Mencari Hidup
Oleh I Made Sudarma
Pada ujung rumput yang sampai pada panas matahari, dalam perjalanan tanah menjadi angin menuju pasir berbuih garam, daun-daun kering anggrek pohon itu telah menjadi kupu-kupu untuk akar yang mencari hidup. Laut masih mengirim ombak pada butiran tanah yang lenyap ditelan daun yang mengibas angin. Matahari mulai tua untuk rumput-rumput kering Kubutambahan ini. Di belahan timur bumi Bali Utara ini, aku pernah berdiskusi dengan batu yang menjadi lumut tentang keseimbangan yang lahir dari rahim perbedaan, pada seni ornamen bangunan candi bentar Pura Madue Karang ini, untuk sebuah feature, untuk sebuah tugas mata kuliah Pembinaan Majalah Sekolah yang aku ambil, ketika aku masih menjadi mahasiswa IKIP Negeri Singaraja (sekarang UNDIKSHA).
Dalam diskusi itu, aku memahami tentang pelangi yang menjadi kelopak bunga, pada ornamen Candi Bentar Pura Madue Karang ini. Karena pada setiap ornament yang menjadi garis wajah candi bentar pura ini, pada bagian kiri dan kanannya, ternyata bentuk-bentuk ornamennya tidak menampilkan sebuah keseragaman. Ornamen dibuat dalam bentuk dan motif yang berbeda untuk satu tujuan dan fungsi, yaitu sebagai pintu masuk pertama pada Pura Madue Karang ini, seperti pelangi pada seribu warna untuk petula Ken Sulasih yang bercerita tentang air dan hujan. Inilah yang mengajarkan aku tentang semangat kemerdekaan seni dari Bali Utara, Buleleng ini. Semangat seni pada ornamen candi bentar Pura Madue Karang ini akhirnya memberitahukan tentang identitas seni Buleleng kepadaku, seni yang sangat menghormati dan menghargai kemerdekaan berkreatifitas untuk mencapai sebuah keseimbangan alam, perbedaan yang tidak melahirkan arang dan abu, seperti mata air yang menjadi sebuah perjalanan untuk mencari muara pada air yang menjadi lumut.
Diskusiku berakhir ketika matahari menghilang pada langit yang disepuh tembaga. Dan inilah hasil diskusiku dengan menjadi lumut itu. Aku akhirnya mengerti bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadi darah dan air mata pada arang dan abu itu. Semoga hasil diskusi singakat ini menjadikan aku dan semua manusia, untuk tidak mengasah perbedaan menjadi sembilu yang memotong urat nadi, tetapi menjadikan perbedaan itu sebagai pelangi pada sinar matahari yang membelah air hujan. Menjadikan perbedaan itu kelopak bunga pada taman yang menjadi wangi.
I Made Sudarma
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 1 Nusa Penida
Catatan:
Tulisan sudah pernah dimuat oleh harian Bali Post Edisi Minggu Paing, 9 November 2008 pada rubrik apresiasi
No comments:
Post a Comment